Langsung ke konten utama

Intervensi Kemanusian

 


         Sejak berakhirnya perang dingin agenda riset Masyarakat Internasional telah meluas dan berubah. Perhatian utama normatif telah berpindah paling tidak sedikit lebih jauh dari ketertiban dan menuju keadilan dalam politik dunia, tetapi juga terjadi gerakan menjauh dari perhatian tentang keadilan internasional menuju perhatian mengenai keadilan manusia. Juga ada perluasan subjek yang mencakup isu-isu keadilan dunia-seperti proteksi lingkungan dan hukum laut- dan pertanyaan tentang bentuk apa yang perlu diambil masyarakat internasional di masa depan jika kedaulatan berhenti menjadi landasan institusi politik dunia seperti yang telah terjadi selama tiga atau empat abad terakhir.

 

        John Vincent dan Peter Wilson (1993) berpendapat dalam istilah Masyarakat Internasional yang lebih reformis bahwa pemikiran baru ‘legitimasi internasional’ sedang naik kepermukaan karena hukum internasional hak asasi manusia ‘membuka negara untuk diselidiki secara menyeluruh dari luar dan mendorong kita di luar prinsip non-intervensi’. Terdapat ‘tatanan baru dari segala hal’ yang mana dunia saling tergantung dan transnasional di dorong oleh revolusi teknologi dalam komunikasi yaitu ‘mendorong Masyarakat Internasional dalam arah menuju masyarakat dunia’. Mereka berpendapat bahwa masyarakat Negara pluralis yang berdasarkan pada prinsip non intervensi ‘sekarang telah diganti oleh dunia yang lebih kompleks’. Mereka membutuhkan teori Masyarakat Internasional cosmopolitan atau solidarisme ‘yang mengakui bahwa prinsip non intervensi tidak lagi meringkas moralitas negara’.

 

        Apalagi dimasa sekarang ini memasuki abad 20-21 masih banyak permasalahan yang di hadapi oleh Masyarakat Internasional di beberapa Negara di dunia ini, berbagai macam kasus yang sempat diberitakan dalam media Local, Nasional dan Internasional salah satunya kasus yang ada di Negara Konflik Rakhine Myanmar, Arab Spring, Genosida Armenia, Holocaust oleh Nazi Jerman, Khmer Merah Kamboja, Rwanda, Konflik Bosnia, Perang Saudara Sudan. Dari kasus tersebut sudah banyak yang menjadi korbannya ada jutaan, ratusan ribu tewas sedangkan yang lainnya menjadi korban membuat mereka harus mengungsi untuk mencari tempat perlindungan. 

 

Dalam banyaknya kasus di atas kita akan menjelaskan 3 kasus saja seperti Konflik Rakhine Myanmar, Konflik Bosnia, Rwanda.

 

1.      Konflik Rakhine di Myanmar

 

        Sejak 1948, tahun kemerdekaan Myanmar sudah ada sekitar 1,5 juta orang Rohingnya yang meningalkan tempat tinggalnya. Para pengungsi Rohingnya kebanykan ditemukan di Bangladesh, Pakistan, Arab Saudi, Thailand dan Malaysia. Pada tahun itu, ketegangan antara pemerintah Burma, yang saat ini di kenal sebagai Myanmar, dan rohingnya meningkat. Banyak di antara mereka yang mengingnkan arakan untuk berganbung dengan Pakistan yang mayoritas muslim. Pemerintah kemudian membalas dengan mengucilkan rohingnya, termasuk menyingkirkan mereka dari posisi pegawai negari. Pada 1950, beberapa orang Rohingnya menolak pemerintah. 

 

        Pada 1962, Jenderal Ne Win dengan partai program sosialis Burma-nya merebut kekuasaan dan mengambil langkah perlawanan kertas terhadap Rohingnya. Pada 2012, terjadi kerusuhan antara Rohingnya dengan kaum Budha di Rakhine yang menewaskan lebih dari 100 orang. Dari jumlah itu, lebih banyak orang Rohingnya menjadi korbannya. Puluhan ribu orang dibawa ke Bangladesh dan hamper 150 ribu orang dipaksa masuk ke Kamp-Kamp di Rakhine.

 

2.      Konflik Bosnia 

        Bosnia-Herzegovina, atau yang secara informal di sebut Bosnia, adalah sebuah negara di semenanjung Balkan, Eropa Tenggara. Wilayahnya berbatasan langsung dengan Kroasia di utara, barat, dan selatan; Serbia di timur; serta Montenegro di tenggara. Wilayah ini sejak lama memiliki keragaman etnis dan agama. Tiga yang terbesar adalah Bosniak (etnis Bosnia yang umumnya beragama Islam), Serb (etnis Serbia) dan Kroat (etnis Kroasia). Tiap-tiap etnis mempunyai wadah politik yang berkoalisi dalam pemerintah (pemenang pemilihan umum 1990) Bosnia-Herzegovina. Namun, sejak 1991, koalisi itu mulai rontok dan tiap-tiap etnis memilih memperjuangkan kepentingan masing-masing. 

 

        Puncaknya ialah pembantain. Ribuan warga sipil Bosniak dirampok, diperkosa, dan dibunuh dalam rentang tanggal 11 hingga 22 Juli 1995. Menurut United Nations International Criminal Tribunal for the former Yugoslavia, lebih dari 8.000 muslim etnis Bosnia, terutama kaum pria, dibunuh di dalam dan sekitar kota Srebrenica. Selama perang Bosnia berkobar, sekitar 100.000 orang tewas dan lebih dari 2,2 juta orang kehilangan tempat tinggal. Data Kementerian Dalam Negeri Bosnia menunjukkan bahwa ada 50 ribu (Uni Eropa dan UNHCR masing-masing menyatakan 20 ribu dan 12 ribu ) wanita Bosniak yang diperkosa.

 

3.      Rwanda 

        Pada 7 April 1994 silam, pembantaian sekitar 500 ribu hingga satu juta warga etnis  Tutsi dan Hutu moderat dimulai hingga 100 hari lamanya. Di Rwanda sejarah kelam genosida itu tercatat dalam konflik antar-etnis. Etnis Hutu dan Tutsi di Rwanda terus bergejolak sejak kemerdekaan dari Belgia dan di bubarkannya pemerintahan monarki yang dipimpin raja dari Tutsi. Pada 7 April 1994, gejolak itu memuncak dalam Genosida. Dilansir History akar langsung dari genosida 1994 berawal dari awal tahun 1990-an, ketika Presiden Rwanda Juvenal Habyarimana, seorang Hutu mulai mengunakan retorika anti-Tutsi untuk mengkonsolidasi kekuasaanya di antara orang-orang Hutu. Awal Oktober 1990 pun sudah ada pembantaian terhadap Tutsi.

 

        Jika melihat sejarah konflik kelam tersebut membuat sejarah baru semenjak perang dunia ke II berakhir atas kemenangan Negara Amerika melawan sekutunya, banyak gejolak yang muncul dari internal Negara-negara kecil yang menginginkan sebuah kepastian hukum dalam hal menyelesaikan konflik komunal ini dalam Negara mereka masing-masing. Sehingga membuat rakyat kecil menjadi korban dalam konflik politik itu, apalagi konflik memakan korban yang tidak sedikit sampai ribuan sampai jutaan. Hingga akhirnya konflik Rwanda di filmkan dengan nama judul Hotel Rwanda.

 

        Dalam hubungan internasional perlu sekali adanya intervensi kemanusian didalam Negara yang sedang konflik dengan kelompok yang ada di Negara itu sendiri, seperti halnya pada 1995, NATO mengempur Sarajevo dengan operasi militer bersandi Operation Deliberate Force untk memburu Slobodan Milosevic dan Radovan Karadzic yang di anggap paling bertanggung jawab atas pembantaian warga sipil Bosnia. Intervensi Amerika Serikat di Bosnia adalah upaya untuk menegakkan norma hak asasi manusia yang dilanggar oleh rezim tiran dan berdarah dingin. Intervensi kemanusian di Bosnia dan Kosovo paling tidak menunjukkan komitmen komunitas internasional untuk menanggapi pelanggaran hak asasi manusia berat di Negara itu (Morris dalam Welsh 2004,99).

 

        Memang dalam praktiknya intervensi manusia selalu saja berdampak ekses negative yang ditimbulkannya, dikarenakan  ada factor ketidak senggajaan yang berlangsung dalam sebuah proses intervensi tersebut, dikarenakan ada state actor dan non state actor yang menjadi pemerannya dalam menindaklajuti proses konflik yang sedang berlangsung di Negara tersebut seperti konflik Rwanda, Konflik Rakhine di Myanmar, Genosida Bosnia dan lain-lain. Sehingga untuk saat ini lebih banyak peran Negara Amerika Serikat, PBB dan non state actor seperti lembaga NGO, mer-C, dll, untuk melakukan menekan Negara atau actor yang terlibat dalam konflik di suatu Negara untuk melindungi hak asasi manusia korban konflik. supaya negara yang sedang berkonflik bisa mendapatkan win-win solution dari kedua belah pihak.

 

*)Penulis: Jakfar 

Kandidat Magister Hubungan Internasional

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Penindasan Tidak Akan Berakhir

  Oleh: Muhammad Rahul Mulyanto* Penindasan bukan bagian dari fenomena baru dalam sejarah umat manusia. Penindasan terjadi sudah berabad-abad yang lalu, dan akan tetap terus ada jika manusia masih menjadi penghuni bumi. Meskipun berbagai macam upaya yang terealisasi untuk melawan, mengakhiri, atau mengurangi praktik penindasan, kenyataannya bentuk-bentuk penindasan masih dirasakan oleh manusia hingga dewasa ini. Mengapa demikian? Karena sistem politik, sosial, ekonomi, dan budaya justru mendorong bahkan menerapkan praktik-praktik yang menindas tanpa sadar ataupun tidak. Saya akan mengawali pada sistem politik, sistem politik dari masa pra-revolusi perancis, pasca revolusi prancis, hingga saat ini sistem politik menjadi bagian paling penting pada penerapan praktik penindasan yang dilakukan oleh elit-elit birokrat pada masyarakat. Kebijakan-kebijakan politik dibentuk atas kesepakatan mereka-mereka saja tanpa melibatkan masyarakat yang lebih mengetahui apa yang dibutuhkan oleh masyara...

Ekofilosofi Deforestasi: Tinjauan Sosial dan Lingkungan di Kota dan Kabupaten Bima

  Oleh: Muhammad Muhajir Ansar & Muhammad Rahul Mulyanto* Deforestasi merupakan kondisi luas hutan yang mengalami penurunan akibat adanya konvensi hutan lahan untuk pemukiman, pertanian, infrastruktur, perkebunan, dan pertambangan. Perubahan lahan hutan menjadi lahan non hutan dapat menyebabkan pemanasan global, longsor, banjir, dan bencana alam lainnya karena akibat dari kebakaran hutan, dan penebangan kayu yang berlebihan. Deforestasi sangat berkaitan dengan penebangan atau pembalakan liar yang dapat mengancam seluruh makhluk hidup, baik hewan maupun manusia. Kota Bima dan Kabupaten Bima, yang terletak di Provinsi Nusa Tenggara Barat, memiliki kekayaan alam berupa hutan yang penting bagi ekosistem lokal, dan masyarakat sekitarnya. Namun, alih-alih untuk menjaga kekayaan alamnya, wilayah sedang menghadapi ancaman deforestasi yang sangat signifikan. Perubahan lahan hutan di Bima telah berdampak pada berbagai aspek, seperti, lingkungan, ekonomi, dan kehidupan masyarakat, terutam...

HUBUNGAN ANTARA AGAMA DAN FILSAFA

Filsafat Pendahuluan Ketika membahas hubungan antara filsafat dan agama, menarik untuk menelusuri bagaimana menemukan titik temu antara keduanya. Alasannya adalah, meskipun agama dan filsafat berangkat dari titik pijakan yang berbeda agama didasarkan pada keyakinan, sementara filsafat dimulai dari keraguan dan pertanyaan keduanya memiliki tujuan yang sama, yaitu mencari kebenaran. Keraguan dan pertanyaan yang menjadi ciri khas filsafat tampak berlawanan dengan keyakinan agama, namun kedua pendekatan ini berfungsi sebagai alat untuk mencapai pemahaman yang lebih dalam tentang kebenaran. Perbedaan landasan inilah yang menyebabkan perkembangan filsafat dan agama sering kali berjalan secara terpisah dan tidak saling berinteraksi dalam pemikiran modern umat Islam. Namun, baik dalam acuan normatif Islam, seperti al-Quran, maupun dalam beberapa episode sejarah klasik umat Islam, terdapat indikasi bahwa situasinya berbeda dari kecenderungan te...