TERPENJARA OLEH GELAR: REALITAS SOSIAL KAUM TERDIDIK

 



Oleh: Muhammad Rahul Mulyanto*

Dibalik kesenangan dan sorak sorai keluarga saat seseorang mencapai puncak pada pendidikan (di wisuda), atau bahkan dibalik tepuk tangan publik atas gelar akademik yang diraih oleh seseorang, tersembunyi sebuah beban yang jarang dibicarakan, “Beban Untuk Sempurna”. Masyarakat tidak hanya memberikan sebuah pujian dan penghargaan atas gelar yang dicapai pada mereka yang berpendidikan, tapi juga menempatkan mereka dalam sebuah ekspetasi yang sempit dan seringkali menyesakkan. Orang-orang berpendidikan bukan hanya dituntut untuk selalu berpikir jernih dan benar, tetapi juga harus bersikap dengan baik, bebrbicara yang benar, dan bahkan bercanda pun harus mengikuti standart dari etika sosial. Pada perihal ini pendidikan menjadi beban yang menghalangi kebebasan dari orang yang berpendidikan. Padahal jika dianalisis lebih dalam Pendidikan menjadi sebuah wadah untuk berpikir kritis dan memberikan kebebasan pada mereka yang juga kaum terpelajar. Namun, dewasa ini pendidikan menjadi penjara simbolik bernama “Kesempurnaan Sosial”.

        Masyarakat cenderung memberikan makna yang terkesan egois pada mereka yang berpendidikan sebagai sebuah bentuk puncak dari peradaban individu. Orang-orang yang berpendidikan tinggi selalu ditutunt untuk memiliki kapasitas intelektual yang tinggi, dan juga moralitas dan etika sosial yang sempurna (mereka lupa bahwa yang berpendidikan juga manusia). Jadi, tak heran jika orang berpendidikan harus selalu menjadi teladan dalam berbagai aspek kehidupan sosial (ini yang disebut sebagai penjara gelar). Yang berpendidikan tidak boleh salah bicara, bahkan dalam bercanda pun harus cermat dan elegan, lagi-lagi harus menjaga nama baik gelar (omong kosong). Jika, yang berpendidikan melanggar hal yang demikian maka akan dicap tidak pantas, tidak layak, dan tidak mencerminkan gelar pada nama belakang. Ah sungguh bodoh pemikiran manusia jaman sekarang.

        Saya sebagai korban penjara sosial ingin mengatakan bahwa pendidikan tidak pernah sama sekali menjanjikan kesempurnaan pada individu yang sudah mencapai puncak dari pendidikan. Pendidikan hanya memberi bekal pada seseorang untuk berpikir krtis dan alat untuk dapat memahami dunia lebih luas lagi.

      Keresahan yang sangat sering dialami oleh orang-orang berpendidikan adalah, Ketika “Canda Menjadi Dosa”. Ini sungguh sebuah keresahan yang menjadi batas dari kebebasan orang-orang berpendidikan. Dengan latar belakang terpelajar dan beban gelar pada mereka yang berpendidikan menjadikan mereka tidak bisa berekspresi lebih bebas pada sisi humanisnya. Canda yang sedikit saja menyeleneh dapat dimaknai sebagai tindakan yang tidak etis, dan ungkapan emosional pun dianggap tidak akademis. Sekali lagi, kami hanya manusia biasa, kami mempunyai sisi humanis yang sama dengan banyak orang, jangan penjarakan kami karena gelar kami.

         Perihal-perihal yang saya jelaskan diatas dapat menciuptakan sebuah realitas bahwa “orang yang berpendidikan harus menyusuaikan diri bukan karena ingin, tapi karena dituntut oleh publik”. Kami terjebak dalam sebuah skenario sosial di mana ekspresi jujur berujung pada penghakiman.

        Dengan permasalahan ini, akan menciptkan sebuah beban yang membuat jarak. Akibat tingginya ekspetasi publik, tidak jarang mereka yang berpendidikan mengalami keterasingan dalam ruang lingkup sosialnya sendiri. Mereka harus mejaga jarak dari obrolan-obrolan santai karena takut salah ucap dan salah tindak karena adanya gelar pada nama belakang mereka. Ah sungguh sial hidup diantara orang-orang yang berpikir sempit. Hahahah. Pada jangka Panjang masalah-masalah ini memberikan kelelahan sosial pada mereka yang terdidik dengan masyarakat umum. Publik harus menganggap bahwa pendidikan menjadi jembatan bukan tembok penghalang pada ruang lingkup sosial. Sekali lagi, kami hanya manusia biasa mempunyai celah, kelucuan, bahkan juga kebodohan. Saya rasa, ini bukan masalah yang dapat menjatuhkan integritas dari gelar yang diraih, justru dapat memperkuat ikatan emosional dan sisi kemanusiaan. Saya teringat tulisan Emma Sue Prince dalam bukunya “The Advantage”, ia mengatakan bahwa kehidupan sosial harus dibarengi dengan adaptasi sosial yang sesuai dengan lingkungan sosial, percayalah bahwa apa yang diterapkan oleh kaum terdidik adalah proses adaptasi dengan karakter dan sisi humanis banyak orang. Jadi, jangan berpikir sempit dan menganggap bahwa apa yang kami lakukan tidak sesuai dengan gelar yang kami raih.

      Dalam kehidupan masyarakat yang sehat, pendidikan tidak boleh menjadi penjara sosial. Pendidikan harus menjadi ruang aman untuk tumbuh, mengekpresikan diri tanpa kepalsuan, dan berbagi pengalaman pada banyak orang, tanpa harus menyembunyikan sisi manusia yang asli pada individu. Gelar akademik bukan beban untuk selalu menjadi sempurna. Pada akhirnya, ukuran pendidikan yang sejati bukan terletak pada seberapa sempurna seseorang tampil dihadapan publik, tetapi seberapa besar ia mampu menjadi manusia ditengah tuntutan untuk menjadi simbol tanpa kepalsuan.

        Pendidikan tidak seharusnya mengurung kami dalam ekspektasi yang sempit. Biarkan kami tumbuh, gagal, tertawa, dan belajar tanpa takut melukai harga diri sebuah gelar. Karena pada akhirnya, kami bukan simbol kesempurnaan, kami adalah manusia yang sedang terus belajar menjadi utuh.


*Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana jurusan Interdiciplinary Islamic Studies (Konsentrasi Social Work), UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta


Posting Komentar

0 Komentar