Dibalik kesenangan dan sorak sorai keluarga saat seseorang mencapai puncak pada pendidikan (di wisuda), atau bahkan dibalik tepuk tangan publik atas gelar akademik yang diraih oleh seseorang, tersembunyi sebuah beban yang jarang dibicarakan, “Beban Untuk Sempurna”. Masyarakat tidak hanya memberikan sebuah pujian dan penghargaan atas gelar yang dicapai pada mereka yang berpendidikan, tapi juga menempatkan mereka dalam sebuah ekspetasi yang sempit dan seringkali menyesakkan. Orang-orang berpendidikan bukan hanya dituntut untuk selalu berpikir jernih dan benar, tetapi juga harus bersikap dengan baik, bebrbicara yang benar, dan bahkan bercanda pun harus mengikuti standart dari etika sosial. Pada perihal ini pendidikan menjadi beban yang menghalangi kebebasan dari orang yang berpendidikan. Padahal jika dianalisis lebih dalam Pendidikan menjadi sebuah wadah untuk berpikir kritis dan memberikan kebebasan pada mereka yang juga kaum terpelajar. Namun, dewasa ini pendidikan menjadi penjara simbolik bernama “Kesempurnaan Sosial”.
Masyarakat cenderung memberikan
makna yang terkesan egois pada mereka yang berpendidikan sebagai sebuah bentuk
puncak dari peradaban individu. Orang-orang yang berpendidikan tinggi selalu
ditutunt untuk memiliki kapasitas intelektual yang tinggi, dan juga moralitas
dan etika sosial yang sempurna (mereka lupa bahwa yang berpendidikan juga
manusia). Jadi, tak heran jika orang berpendidikan harus selalu menjadi teladan
dalam berbagai aspek kehidupan sosial (ini yang disebut sebagai penjara gelar).
Yang berpendidikan tidak boleh salah bicara, bahkan dalam bercanda pun harus
cermat dan elegan, lagi-lagi harus menjaga nama baik gelar (omong kosong).
Jika, yang berpendidikan melanggar hal yang demikian maka akan dicap tidak
pantas, tidak layak, dan tidak mencerminkan gelar pada nama belakang. Ah
sungguh bodoh pemikiran manusia jaman sekarang.
Saya sebagai korban penjara sosial
ingin mengatakan bahwa pendidikan tidak pernah sama sekali menjanjikan
kesempurnaan pada individu yang sudah mencapai puncak dari pendidikan.
Pendidikan hanya memberi bekal pada seseorang untuk berpikir krtis dan alat
untuk dapat memahami dunia lebih luas lagi.
Keresahan yang sangat sering dialami
oleh orang-orang berpendidikan adalah, Ketika “Canda Menjadi Dosa”. Ini sungguh
sebuah keresahan yang menjadi batas dari kebebasan orang-orang berpendidikan.
Dengan latar belakang terpelajar dan beban gelar pada mereka yang berpendidikan
menjadikan mereka tidak bisa berekspresi lebih bebas pada sisi humanisnya.
Canda yang sedikit saja menyeleneh dapat dimaknai sebagai tindakan yang tidak
etis, dan ungkapan emosional pun dianggap tidak akademis. Sekali lagi, kami
hanya manusia biasa, kami mempunyai sisi humanis yang sama dengan banyak orang,
jangan penjarakan kami karena gelar kami.
Perihal-perihal yang saya jelaskan
diatas dapat menciuptakan sebuah realitas bahwa “orang yang berpendidikan
harus menyusuaikan diri bukan karena ingin, tapi karena dituntut oleh publik”.
Kami terjebak dalam sebuah skenario sosial di mana ekspresi jujur berujung pada
penghakiman.
Dengan permasalahan ini, akan
menciptkan sebuah beban yang membuat jarak. Akibat tingginya ekspetasi publik,
tidak jarang mereka yang berpendidikan mengalami keterasingan dalam ruang
lingkup sosialnya sendiri. Mereka harus mejaga jarak dari obrolan-obrolan santai
karena takut salah ucap dan salah tindak karena adanya gelar pada nama belakang
mereka. Ah sungguh sial hidup diantara orang-orang yang berpikir sempit.
Hahahah. Pada jangka Panjang masalah-masalah ini memberikan kelelahan sosial
pada mereka yang terdidik dengan masyarakat umum. Publik harus menganggap bahwa
pendidikan menjadi jembatan bukan tembok penghalang pada ruang lingkup sosial. Sekali
lagi, kami hanya manusia biasa mempunyai celah, kelucuan, bahkan juga
kebodohan. Saya rasa, ini bukan masalah yang dapat menjatuhkan integritas dari
gelar yang diraih, justru dapat memperkuat ikatan emosional dan sisi
kemanusiaan. Saya teringat tulisan Emma Sue Prince dalam bukunya “The
Advantage”, ia mengatakan bahwa kehidupan sosial harus dibarengi dengan
adaptasi sosial yang sesuai dengan lingkungan sosial, percayalah bahwa apa yang
diterapkan oleh kaum terdidik adalah proses adaptasi dengan karakter dan sisi
humanis banyak orang. Jadi, jangan berpikir sempit dan menganggap bahwa apa
yang kami lakukan tidak sesuai dengan gelar yang kami raih.
Dalam kehidupan masyarakat yang
sehat, pendidikan tidak boleh menjadi penjara sosial. Pendidikan harus menjadi
ruang aman untuk tumbuh, mengekpresikan diri tanpa kepalsuan, dan berbagi
pengalaman pada banyak orang, tanpa harus menyembunyikan sisi manusia yang asli
pada individu. Gelar akademik bukan beban untuk selalu menjadi sempurna. Pada
akhirnya, ukuran pendidikan yang sejati bukan terletak pada seberapa sempurna
seseorang tampil dihadapan publik, tetapi seberapa besar ia mampu menjadi
manusia ditengah tuntutan untuk menjadi simbol tanpa kepalsuan.
Pendidikan tidak seharusnya mengurung kami dalam ekspektasi yang sempit. Biarkan kami tumbuh, gagal, tertawa, dan belajar tanpa takut melukai harga diri sebuah gelar. Karena pada akhirnya, kami bukan simbol kesempurnaan, kami adalah manusia yang sedang terus belajar menjadi utuh.
0 Komentar