Duka, Dosa dan Dusta di Simpang KKA

Kebijakan cabut nyawa menggiring malaikat pencabut nyawa hari ini, 24 tahun lalu
Aceh yang identik dengan “Perdamaian” saat ini berusia menjelang 18 tahun, dan itu diakui oleh dunia sebagai proses resolusi konflik yang dianggap sukses dan berkelanjutan, berbagai macam penguat perdamaian dilakukan demi tegaknya sustainable peace dan tegakya keadilan. “Perdamaian di Aceh” tidak serta merta datang dengan mudah dan langsung, ia hadir setelah provinsi paling barat Indonesia itu dilanda era bencana sempurna: bencana alam dan bencana perang. Masa lalu yang begitu suram dan mencekam, melanda Aceh, telah menanamkan paradigma kepada para korban “apakah untuk menuju damai harus melalui kemelaratan yang begitu mengerikan?

 Perjanjian telah dilakukan dan tujuan-tujuan disepakati untuk membangun kembali puing-puing kehidupan demi masa depan yang lebih cerah dan menjanjikan. Hampir seluruh organisasi internasional (negara ataupun non negara) datang ke Aceh untuk memberikan kontribusi dan bantuan demi memperbaiki kerusakan sarana dan prasarana. Dimulai dari memperbaiki infrastrukur wilayah dan manusia yang dikomandoi oleh Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR), program pemasyarakatan kembali bekas GAM hingga pemberian lahan oleh Badan Reintegrasi Aceh (BRA) yang tidak jelas sampai kini, dan proses pengungkapan kejahatan perang sedang dilakukan oleh lembaga Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), hingga saat ini belum ada terobosan yang identik dengan sebutannya.

 Penyudahan perang frontal antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan Pemerintah Republik Indonesia belum memperlihatkan positive peace di Aceh, terutama untuk mereka yang menjadi korban. Komunitas korban tragedi Simpang KKA adalah yang melihat dunia ini dikendalikan dengan cara kekerasan dan dehumanisasi, itu adalah kejahatan yang melukai mental mereka dan membutuhkan waktu lama untuk disembuhkan. 

Pemulihan psikologi para korban tragedi Simpang KKA merupakan usaha untuk melakukan transformasi mental personal guna terciptanya masyarakat yang kreatif dan mampu menjadi pelopor perdamaian bagi kehidupan. Karena pada dasarnya berhasil atau tidaknya perdamaian bukan tidak lagi meletusnya senjata-senjata, tetapi harus terfokus pada tujuan yang lebih spesifik seperti konversi ekonomi, penghapusan diskriminasi, mengakhiri intervensi militer, pengentasan kemiskinan, tekanan politik, penghancuran lingkungan (illegal logging, excessive mining) dan yang lebih penting mengembalikan serta mempertahankan hak asasi manusia.


Dengungan Duka Sebuah kegilaan bergoyang ria di sebuah persimpangan; Simpang PT. KKA (Kertas Kraft Aceh) di Dewantara, Aceh Utara. Tidak diketahui bencana jenis apa yang melanda pada siang 3 Mei 1999 itu, hingga dengan mudahnya bangunan kehidupan hancur berkeping-keping. Pemerintah memusuhi dan mencaci maki dengan begitu brutal eksistensi warga negaranya.

24 tahun pasca tragedi itu, hingga hari ini inner hurt yang hinggap dalam kehidupan mereka (korban) belum pulih secara utuh. Tidak pulihnya keterlukaan mereka, sama sekali tidak ada inti seluruh kebijakan politik yang dilakukan oleh elit atas amanah dari nota kesepahaman 2005 silam. Moril giving tidak diterima oleh mereka sebagai objek kesewenang-wenang negara melalui arogansi aparatnya, baik itu tentara maupun polisi. Level kemanusiaan pernah sangat rendah pada saat itu, ketika sesama anak bangsa saling berhadapan, yang membedakan diantara mereka hanya outlook-nya saja. Selebihnya mereka sama-sama sebagai penduduk Republik Indonesia.

Keadaan demikian berlanjut hingga saat ini, dengan berbagai macam material giving dilakukan melalui kebijakan politik, seakan memperlihatkan kepada publik bahwa Aceh telah selesai dengan ketragisan masa lalunya. Titik berat penyelesaian atas seluruh tragedi berdarah itu ada pada pemerintah sentral dan pemerintah Aceh. Bila kita baca isi naskah nota kesepahaman tersebut, ada unseen mail yang disampaikan bahwa otoritas Aceh memiliki tanggung jawab penuh sebagai Illiberal Peacemaker untuk menuntaskan dan membangun kembali peradaban seluruh korban perang.

Hal paling sering diabaikan pasca praktik pelanggaran HAM adalah memulai usaha mengakui. Hal itu menjadi penentu berhasil atau tidaknya sebuah proses yang dilakukan setelah kesepahaman disetujui. Sekian banyak tragedi terjadi di Aceh tidak akan selesai hanya sebatas jabat tangan elitis yang mewakili proses penyepahaman. Ini menyangkut harga diri manusia, warga negara Republik Indonesia yang tinggal di Aceh. Puluhan bahkan ratusan tragedi hampir setiap hari terjadi dalam kurun waktu 1989-2005. Baik itu korban dengan kuantitas sedikit ataupun banyak, pembunuhan tetap sebagai kejahatan, walau dilakukan atas nama negara.

Sekian banyak tragedi, diantaranya terjadi pasca Pemerintah Indonesia mencabut status DOM dari Aceh pada tanggal 20 Agustus 1998. Salah satunya tragedi Simpang KKA di Aceh Utara. Korban atas tragedi itu, pada hari ini tidak pernah mendapatkan perhatian khusus dari Pemerintah, selaku penanggung jawab atas derita yang mereka alami. Langkah kongkrit untuk memulai usaha humanisasi belum tercium baunya. pasca peperangan, pasca kesepahaman banyak hal masih misteri sebagai langkah pertaubatan. Taubat tanpa memberi obat, tidaklah hebat. Mengakui tanpa menyesali adalah anomali. Meminta maaf tanpa insaf adalah khilaf. 

Runtuhnya pemerintahan Orde Baru ala Soeharto, sama sekali tidak meruntuhkan budaya represifnya terhadap warga negara. Terbukti rentetan kekerasan oleh aparatur negara terjadi di beberapa daerah, seperti Aceh dan Papua. Presiden Habibie yang menggantikan Soeharto, kemudian Abdurrahman Wahid (Gusdur) hingga Megawati tidak mampu mengakhiri segala kekalutan yang berhubungan dengan harga diri warganegara. Pada saat Megawati duduk sebagai presiden, petaka kemanusiaan semakin menggila terjadi di Aceh. 

Pemerintahannya menerapkan status Darurat Militer (DM) dengan sandi “Operasi Terpadu”. Kata terpadu merujuk keterlibatan bukan hanya komponen militer, melainkan program kemanusiaan, penegakan hukum dan tata kelola pemerintahan daerah.

Sandi operasi terpadu itu hanya nama lain dari kebijakan represif sebelumnya, yang dalam tindakannya tidak sedikitpun menampilkan proses penegakan hukum, apalagi tata kelola pemerintahan daerah. Sampai dengan saat ini seluruh aksi dan perilaku menyimpang dari negara terhadap warga negaranya, belum terselesaikan secara sosiologis, yuridis apalagi humanis. Keadaan pasca perang kerap memproliferasikan masalah sosial baru, bahkan lebih mengkhawatirkan.

 Wajah Manis Sang Pendusta

Substansi humanisasi paska perang adalah dengan menghindari secara maksimal failure after agreement, hal terpenting dalam Post-Conflict Reconcstruction agenda adalah mengeksistensikan berbagai peran untuk menciptakan langkah awal pembangunan. Negara “modern” harus menyediakan wadah untuk menampung aspirasi nasional (kelompok korban), keamanan dan kepentingan hidup daulat warganya. esensi dari Transitional Modern Nation ialah terlibatnya semua kelompok korban sebagai target pembangunan. Sebelumnya mereka begitu nyata menjadi objek kekerasan oleh negara, maka setelahnya mereka juga harus menjadi target utama dalam hal rekonstruksi. Tidak adanya keseriusan dari policy makers untuk hal ini, tentu saja setelah perjanjian dilakukan negara tersebut akan mengalami kegagalan yang sangat mengkhawatirkan.

Ketika perjanjian damai dihasilkan dan kekerasan militer mereda, maka akan lebih mudah untuk mendorong kepermukaan bantuan sosial dan ekonomi jangka panjang. Parahnya, setelah perjanjian damai didengungkan begitu agung, Pemerintah Aceh dan Indonesia sedikitpun tidak menempatkan isu kemanusiaan sebagai agenda utama. 2005 hingga 2023 masih begitu banyak korban dari pembantaian di Simpang KKA dan korban perang lainnya yang hidup di bawah ketidaklayakan, keadilan yang carut-marut, penyelesaian dan penuntasan kasus berbelit-belit, pertanggung jawaban hukum penuh dengan drama politik.

Hal tersebut melahirkan semacam kondisi meminjam istilah Carlos Castaneda (1971) Separated Reality; sebuah fenomena yang menggerogoti dan menghisap hasil capaian dalam bingkai hukum, dilakukan oleh aktor yang berperan dalam mendapatkannya. Secara sederhana, realitas terpisah dalam konteks Aceh hari ini untuk para korban perang, termasuk di dalamnya korban Tragedi Simpang KKA adalah menjarakkan mereka dengan apa yang seharusnya menjadi milik mereka dari dulu. Saat ini, yang banyak disebut ‘Perdamaian’ sama sekali bukan perdamaian, melainkan peralihan keadaan dari kekerasan langsung kepada kekerasan tidak langsung (Structural Violence). Perdamaian harus masuk ke dalam eksistensi sosiologis semua korban, tidak boleh ada yang tertinggal. Paska 2005 Aceh hanya sekedar mengalami reformasi yuridis, belum mengarah kepada reformasi etis-humanistik, sama halnya dengan Indonesia pada 1998; reformasi tetapi tidak pernah diikuti dengan transisi total.

Transisi politik, tidak selalu mengutamakan apa yang telah dimulai. Dari sekian banyak masalah sosial masa lalu, hal ini adalah keniscayaan untuk dilakukan. Kekerasan militer yang telah mereda hanya kekerasan secara terbuka. Warisan keganasan militer hari ini dalam kasus Indonesia masih sangat kuat. Transisi politik otoriter ke demokrasi selalu menampilkan modifikasi, bukan yang sebenarnya. Fake Transition hanya memperlihatkan wajah lama dengan rezim baru, yang berpotensi kerap mengulang kebijakan-kebijakan lama. Bila ini yang terjadi, maka tidak ada bedanya antara demokrasi dengan vetokrasi.

Masyarakat sangat memahami peristiwa masa lalu untuk menetapkan tanggung jawab dan menolak impunitas secara berkelanjutan. Tentu, kebenaran saja tidak akan mendamaikan mantan musuh. Korban dari peristiwa di Simpang KKA yang selamat dan secara terbuka menceritakan kembali pengalaman mereka ingin lebih dari sekedar di dengar. Karena ini sangat penting bagi mereka; banyak yang mencari perbaikan, sanksi hukum bagi yang bersalah dan mereka mencari jaminan bahwa hak mereka terlindungi dimasa mendatang.

Pemerintah Indonesia sudah mengakui apa yang telah mereka lakukan pada masa lalu terhadap Aceh, termasuk salah satunya tragedi Simpang KKA, 3 Mei 1999, kekerasan terhadap hak asasi manusia di Aceh yang dilakukan oleh aparat keamanan adalah kasus yang muncul begitu mencuat ketika komitmen untuk membersihkan sejarah mulai disuarakan. Suara-suara korban yang terbisu sejak lama harus kembali diperdengarkan agar Indonesia mampu mereformasi institusi yang terlibat sebagai agen kekerasan. Apapun alasannya, ini merupakan jalan yang sangat beresensi kepada sebuah penyembuhan, pemaafan dan rekonsiliasi.

Pengakuan yang dilakukan oleh negara tidak serta membersihkan darah yang sudah mengkrtistal hingga saat ini, langkah konkrit selanjutnya apa yang akan dilakukan, sehingga slogan negara yang berbunyi Indonesia adalah negara dengan supremasi hukum, benar-benar terwujud, bukan sekedar barang dagangan yang dijual setiap ajang Pemilihan Umum (Pemilu).

Penantian begitu lama, kita tidak mengetahui apakah masih ada kesabaran yang bersemayam dalam benak para korban, untuk terus menunggu sebuah pengakuan ikhlas yang datang dari negara, sebagai usaha membangun kembali harkat dan martabat manusia yang pernah terlindas ganasnya goyangan proyektil. Kiamat ala negara yang didatangkan ke Simpang KKA cukup menyisakan kesakitan dan keterisakan terhadap sebuah kehidupan. Itu adalah kenyataan yang dilalui masyarakat sekitar sebagai korban kebiadaban. Haruskah mereka menunggu sampai mati untuk sebuah pengakuan? Negara yang tidak sadar, atau mungkin menggila-gilakan diri sebagai usaha melupakan sejarah kekerasannya adalah negara teror. Teror yang terus menerus direproduksi secara langsung maupun tidak langsung.

Rekonsililasi adalah penghormatan terhadap peacebuilding sebagai proses transisi politik. Itu tidak akan berkembang ketika masa lalu tidak dikaji atau jika kejahatan mengerikan dibenarkan. Pemahaman yang jujur dan tulus mengenai masa lalu secara moral diperlukan, meskipun hal ini bisa menyakiti korban dan meresahkan bagi mereka yang mendukung pelaku. Akuntabilitas juga diperlukan bagi budaya impunitas dan bahasa superiotas dan penghinaan yang mendalam untuk hak-hak individu. Yang terkait dengan ini adalah pentingnya mengakui korban sebagai warga negara yang memiliki moral setara dan sebagai saudara. Tanpa upaya pengakuan yang berarti, mereka cenderung akan tetap dianiaya atau diabaikan, tidak ada rasa hormat dan martabat yang layak mereka terima. Aturan hukum memainkan peran penting untuk menjamin bahwa hak-hak pribadi akan dihormati, negara akan tetap terikat oleh hukum. Indonesia hadir, tetapi belum berada untuk KKA.
Alfatihah untuk para korban.


*)Penulis: Iping Rahmat Saputra
Pengajar Hukum dan HAM pada Fakultas Syariah dan Hukum UIN Ar-Raniry

Posting Komentar

0 Komentar