Bisakah Indonesia Bermimpi Menjadi Negara Islam? dari ‘Aceh untuk Indonesia’

sumber : Koleksi pribadi


Tulisan ini bukan untuk mengkritisi opini Putri Mulya Sari Bisakah Indonesia Menjadi Negara Islam ? ( http://www.political-club.com/2016/05/bisakah-indonesia-menjadi-negara-islam.html ). 
Hanya sekedar celoteh tentang ekspektasi yang tak realistik.

Jauh di ujung sejarah pendirian negara Indonesia, Perdebatan tentang ideologi atau pegangan negara Indonesia sudah game is over, yakni butir pertama Pancasila “Ketuhanan yang Maha Esa”. Pendapat para tokoh, cendikia, bahkan siapapun yang mengatakan Indonesia bisa menjadi Negara Islam, menurut penulis itu adalah sikap yang keliru, atau belum melihat sejauh mana kejadian sejarah ketika sidang ke-2 Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), beberapa anggota perumus yang termasuk didalamnya Soekarno, Dr. Sutomo, dkk. Yang mayoritas muslim dapat dinetralisasi oleh kehadiran 1 orang non-muslim, perbandingannya 8:1.

Dengan kejadian yang jelas seperti itu, mungkinkah Indonesia menjadi negara islam sekarang? Jika mungkin kenapa tidak dari doeloe ketika perumusan ideologi tersebut. Bukankah dari sejarah saja mereka sudah salah kaprah jika beranggapan Indonesia dapat menjadi negara islam? dan sangat krusial lagi, bagaimana dengan Aceh yang sudah mendapat amanah besar memegang tangga Pemerintahannya sendiri, sebagaimana UU No. 11 tahun 2006.

         Disamping itu, bukankah ada salah satu ayat Allah yang berbunyi “.. Kun Fayakun....” yang artinya  jadi maka jadilah. Jelas pada potongan ayat tersebut menerangkan bahwa, tidak ada kata tidak mungkin, sehingga jika Allah menghendaki semuanya menjadi mungkin.

Namun pernyataan itu tidak semudah membalikkan telapak tangan pada imlementasinya. Ada ketentuan-ketentuan yang terkadang harapan itu hanya wacana bisu, artinya sudah dilaksanakan namun penetrasi yang didapat tidak mencapai 50%  dari harapan yang ada. Jika dikaitkan dengan konsep Man jadda wajadda, barang siapa yang bersungguh-sungguh maka ia akan mendapat. Maka yang menjadi inti pertanyaannya, bisakah Aceh bersungguh-sungguh menerapkan syariat islam dengan kaffah? Atau sudahkah pemerintah Aceh berupaya menerapkan konsep-konsep Islam dengan Istiqamah? Berapa persenkah perjalanannya?
 Kesan yang hadir di opinin publik sekarang, untuk menjalankan syariat Islam di Aceh ini masih setengah-setengah, terlepas dari ikut campurnya pemerintah pusat. Padahal keistimewaan tersebut adalah amanah besar yang diberikan Allah untuk menjadikan kita sebagai rule model untuk keseluruhan bangsa Indonesia, sehingga Aceh dapat memberikan pendistribusian dakwah dan kesejahtraan melalui konsep Syariat Islam yang belum pernah dicoba penerapannya di Indonesia. Dengan demikian, kedua ayat motivasi diatas tidak serta merta menjadi nyata dan tidak semua kalangan bisa mendapatkan keajaiban tersebut.

           Pernah ada sebuah ungkapan keras dari salah seorang  guree beut (guru pengajian di dayah atau majelis ilmu) yang mengabdi di sebuah dayah, yakni Tgk. Al-Farabi, “Nur Allah itu tidak akan sampai pada seorang pencuri, pemabuk, penzina, orang kaya, orang miskin, tapi dia akan datang kepada seorang hamba yang memiliki iman dan takwa”.

            Dengan demikian tidak sembarang orang mendapatkan cahaya Allah, bahkan salah satu lirik lagu ‘Memulai’ dari Band LETTO,  “...Cahaya Terang, Tuk yang Mengerti....”. sudah sangat menjelaskan bahwa barang siapa yang tidak mengerti tentang bagaimana iman dan takwa tersebut tidak akan pernah mendapat cahaya Allah.

         Lantas bagaimana dengan yang pemabuk, penzina, penjudi atau sejenisnya? Yang mungkin mereka dapatkan adalah hidayah Allah, bukan nur Allah. Karena perbedaan cahaya Allah dengan Nur Allah itu jauh berbeda. Nur Allah itu memberikan sebuah kelebihan atau pertolongan ketika seorang hamba berusaha mencapai tujuan fisabillah. Seperti hidayah Allah yang dikaruniakan kepada seseorang yang hidupnya kelam atau berada dijalan buntu, kemudian ingin kembali ke jalan yang benar, maka akan datang berbagai petunjuk untuknya.

Mindset generasi muda sudah sakit
            Indonesia adalah negara dengan mayoritas muslim terbanyak, dan seperti pada ayat, “Untukku agamaku dan untukmu agamamu”, menjadi satu indikator penentu yang menbangun mindset masyarakat terhadap agama minoritas di Indoensia, namun hal ini memiliki pengaruh yang berbeda dengan yang seharusnya dari fungsi konsep toleransi itu sendiri, bahkan dengan adanya toleransi ini memberikan efek ketidaksadaran bahwa  arti luas dari ayat tersebut menyeru agar kita tetap mengamalkan ibadah atau segala yang diperintahkan dalam agama islam, bukan malah mencampur adukkan, atau menghargai mereka yang minoritas saja tanpa menghiraukan perintah yang seharusnya dilaksanakan dalam agama islam.

          Nah, bisa dikatakan mayoritas muslim sendiri tidak menerima syariat islam yang dilaksanakan, bisa dilihat dari partisipasi masyarakat dalam mematuhinya, jika berbicara Aceh yang mendapatkan keistimewaan menjalankan syariat islam, masih banyak pelanggaran-pelanggaran yang menodai syariat islam itu sendiri, contohnya  di Kota Madya dengan prilaku kaum hawa yang masih mundar-mandir di tengah jalan bersama yang bukan mahram ketika jam malam, banyaknya tempat-tempat yang menyediakan mojok dan kurangnya perhatian masyarakat dalam perumahan yang sudah menjadi kawasan kos-kosan mahasiswa, dan mayoritas penzina yang ditemukan itu bukan dari daerah tersebut, namun berasal dari daerah-daerah yang sudah mewakili keseluruhan Aceh.

        Dengan kata lain, ada hal-hal yang sekarang sudah menunjukkan bahwa generasi muda tidak menerima syariat islam itu sendiri untuk dijalankan, hanya ada beberapa saja yang antusias dan berjuang untuk menegakkan hal tersebut. Bukannya penulis tidak mendukung, tapi memang realita yang terjadi seperti itu.

Budaya Islam di Aceh kebobolan
      Beberapa hari lalu, hasil diskusi dengan anak binaan penulis tentang pengaruh modernisme terhadap budaya islam di Aceh, dengan inti problem yang dibedah adalah “Islam KTP”. Pembahasan problematika umat mengenai Islam KTP pada dasarnya hadir karena budaya, budaya yang sudah ada sejak leluhur dan budaya yang diciptakan oleh perjalanan waktu manusia. Sebagaimana budaya mengaji setiap ba’da magrib di rumah, sekarang berubah konteks menjadi budaya nonton television.

      Dari hal sekecil itu saja akan berefek terhadap kebiasaan islam lainnya. Keluarga memang menjadi pusat sosialisasi paling utama, sehigga efek dari kebiasaan yang dibentuk dalam keluarga menjadi bumerang bagi generasi muda yang akan menjumpai dunia di esok harinya. Sangat krusial ketika kebiasaan buruk sebagai virus perusak budaya islam di Aceh menjadi sebuah ketidak tahu-menahu.

       Faktor sekecil ini terjadi di wilayah yang dengan bebas dapat menjalankan syari’at islam, apalagi Indonesia yang kaya akan keberagaman. Lalu kamu? Masihkah berpikir Indonesia akan dapat meraih status negara Islam?



Nama : Agam Ramadhan
Menulis hanya kiat cepat mencari kunci pembuka Original Life. Penulis lahir di Bandung, 18 Februari 1995. Besar di Pidie, Aceh. Terdaftar sebagai Mahasiswa Ilmu Politik FISIP Universitas Syiah Kuala angkatan 2014. Facebook: Agam Ramadhan (Raider) 

Posting Komentar

0 Komentar