BANDA ACEH, DI BALIK 1001 WARUNG KOPI ADA RASA KEKHAWATIRAN

"Sumber fhoto berasal dari Dinas Sosial"

                      Aceh, sebuah daerah penghujung Negeri yang identik dengan persoalan yang komplek di segala komponen baik sosial politik budaya masyarakat baik yang bersifat positif maupun negatif bahkan sampai kepada yang cukup kontroversial. Mungkin sekarang sudah menjadi isu yang membosankan bahkan cenderung memicu sikap apatis kita jika membahas masalah politik dan hukum di Aceh yang semakin semeraut, atau juga persoalan kuliner seperti kuah belangong dengan bumbu “hijau” khas Aceh di temani segelas kopi hitam yang hanya akan memicu pembatalan “puasa keadaan” bagi kaum yang katanya “Mahasiswa”.

                    Sadar atau tidak, peduli atau tidak, namun itu ada. sudah sebuah hal yang biasa dan diangap lazim bagi mayoritas masyarakat banda aceh menjadikan budaya ngopi sebagai suatu kegiatan rutinitas yang di selingi dengan kegiatan-kegiatan sehari-hari seperti diskusi, mengerjakan tugas bagi pelajar, dan lain sebagainya. Cukup fenomenal, melihat warung kopi yang berdiri di setiap pelosok kota Banda Aceh dan tidak pernah sepi. Tulisan ini tidak akan menceritakan jenis kopi apa yang enak, atau merekomendasikan warung kopi mana yang nyaman untuk di duduki. Namun topik ini memicu pertanyaan:

“Apa yang anda lihat atau temui ketika sedang duduk di warung kopi?”

                     Warung kopi menyisikan sebuah cerita realita kehidupan minoritas masyarakat aceh yang termarginalkan di tanah nya sendiri. Terlepas dari nikmatnya segelas kopi, ingatkah kawan-kawan seseorang yang berpenampilan menyedihkan dengan lantunan salam yang menggugah hati, mengharap sedikit tetesan koin dari sisa harga segelas kopi yang anda minum?

                           PENGEMIS. Ya, dialah sang hamba yang terlupakan dan menarik perhatian penulis untuk membahas fenomena yang sedang menjamur di kota Banda Aceh tersebut baik dari aspek pengemis itu sendiri dan lembaga terkait. Kemiskinan yang disebabkan oleh aspek multidimensi memaksa orang dengan keterbatasan kemampuan dan motivasi untuk mengambil jalan pintas untuk mengemis. Dan yang lebih memprihatinkan adalah dengan semakin besarnya persaingan di Antara mereka sesama pengemis, tak jarang kita melihat pemanfaatan anak-anak yang masih di bawah umur sebagai modus untuk menarik simpati dan rasa iba orang lain. Menyikapi hal tersebut, kita dapat melihat secara konseptual bahwa menurut Sumodiningrat (1999: 45) Masalah kemiskinan pada dasarnya bukan saja berurusan dengan persoalan ekonomi semata, tetapi bersifat multidimensional yang dalam kenyataannya juga berurusan dengan persoalan-persoalan non-ekonomi (sosial budaya dan politik).

                  Ada beberapa aspek yang penting kita kaji, yaitu sikap dan mental manusianya, pemerintah dan lingkungan sosial masyarakat.

1. Minimnya Keterampilan Dan Motifasi Kerja

           Dewasa ini, ketersediaan lapangan kerja menjadi suatu objek yang sangat vital bagi pertumbuhan perekonomian suatu daerah. Hal ini berlandaskan pada penekanan angka pengangguran dan kemiskinan dalam masyarakat. Seiring dengan semakin meninggkatnya arus globalisasi dan modernisasi dalam segala aspek kehidupan menuntut manusia untuk memiliki keterampilan lebih dalam segi penguasaan Iptek, tidak hanya mengandalkan tenaga otot. Selaku ibukota dari provinsi Aceh, kota Banda Aceh sudah menjadi suatu magnet yang menjadi daya tari tersendiri dari masyarakat-masyarakat Aceh dari wilayah-wilayah lain untuk mencari lapangan pekerjaan. Dengan kapasitas terbatas, sudah jelas masyarakat yang mini keterampilan akan tersisihkan dalam hal persaingan dan memperoleh perkerjaan.

                      Ditambah lagi tidak adanya motivasi untuk mencari pekerjaan yang lebih layak semakin memperparah keadaan dan hal tersebut membuat mereka semakin  malas dan berpasrah kepada kondisi yang membuat mereka harus mengais rezeki dengan cara hina tersebut. Padahal jika kita perhatikan, sebahagian dari mereka memang sehat secara fisik.

2. Tidak Maksimalnya Peran Pemerintah

                   Menyikapi hal tersebut, sudah menjadi suatu kewajiban bagi pemerintah kota Banda Aceh selaku penyelenggara pemerintahan kota untuk menanggulangi penyakit sosial tersbut. Dinas Sosial Dan Tenaga Kerja kota Banda Aceh selaku lembaga perpanjangan tangan pemerintah kota di rasa tidak efektif dan cenderung jalan di tempat dalam penanggulangan pengemis di kota Banda Aceh. Hal ini dapat kita lihat dari kondisi yang tidak pernah berubah dari segi jumlah pengemis. Kurangnya penindakan yang tegas dan pembinaan yang efektif terhadap pelaku berakibat pada tidak ada nya efek jera dan kembali kepada habitatnya sebagai pengemis. Selain itu, Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk Dan Keluarga Berencana kota Banda Aceh seperti mengabaikan kasus pemamfaatan anak-anak sebagai pengemis di lingkungan kota Banda Aceh. Anak-anak yang masih belia dan belum tau apa-apa, yang seharusnya di usia yang masih dini mereka sudah sewajibnya mendapatkan pendidikan formal malah di manfaatkan untuk kegiatan pembobrokan moral, mengemis. Satu yang menjadi pertanyaan, mengapa hal seperti ini di biarkan.

3. Perilaku Sosial Masyarakat

                       Sudah menjadi kebiasaan dan sebuah kebanggaan bagi kita rakyat Aceh yang memiliki kebiasaan dermawan dan ringan tangan dalam hal saling bantu membantu. Kembali ke masa lampau, Pemerintah Pusat merasakan mengudara berkat sumbangsih pesawat dari rakyat Aceh, bahkan Monumen Nasional yang menjadi salah satu maskot Negara yang berhiaskan emas di puncaknya adalah salah satu dari sekian bentuk kedermawanan masyarakat Aceh dari masa ke masa. Namun beda hal nya dalam kasus ini. Jika berbicara mengenai pengemis, sikap dermawan tersebut cenderung menjadi candu yang bersifat negatif bagi mereka yang meminta-minta. Bagaimna tidak, setiap hari mereka dapat meraup lebih dari cukup uang dari hasil meminta-minta yang dapat memotivasi mereka untuk kembali lagi esok hari. 

                  Demikianlah sekilas tentang cerita dari tanah kelahiran ku, Aceh yang terus terpuruk dalam segala aspek kehidupan. siapa yang bertanggungjawab, bukan mereka (pengemis), bukan pula Pemerintah yang berkuasa. ya, kitalah yang menjadi penanggungjawab dari segala yang terjadi di bumi Seramoe Meukah ini, sebagai putera-puteri daerah sudah sepatut nya kita menjadi pelopor, penggerak dan pengontrol segala aspek kehidupan dalam masyarakat untuk Aceh gemilang ke depan yang bermartabat baik di mata aceh sendiri, nasional dan internasional.


Tarmizi
Mahasiswa Ilmu Politik Unsyiah

Posting Komentar

0 Komentar