MENATA KETERLIBATAN PEREMPUAN DI DUNIA PERPOLITIKAN INDONESIA

Image result for karikatur cut nyak dhien
ilustrasi Geogle

Oleh Munawwar

       Dalam lembaran sejarah Indonesia tercatat sejumlah tokoh perempuan yang pernah tampil di ruang publik, baik secara sosial, budaya, politik dan sebagainnya, di Aceh muncul nama Tjut Nyak dhien, Tjut Mutia, dan lain-lainnya, barangkali masih banyak para pionir tokoh perempuan lainnya yang layak disebutkan, tetapi tidak terekam sejarah.
       Oleh sebab itu, keterlibatan kaum perempuan di dalam ruang publik seperti politik telah mempunyai akar dalam sejarah Indonesia, tidak saja pada zaman pergerakan, melainkan sejak zaman pra-pergerakan atau masa kerajaan-kerajaan Hindu-Budha dan Islam.
Perempuan dan Politik
       Relitas yang memperlihatkan bahwa perempuan belum memiliki hak pilih bertentangan dengan hak politik warga negara yang pailng mendasar dalam demokrasi, yakni, hak untuk memilih dan di pilih dalam pemilu. Melalui hak pilih dalam pemilu, warga negara dapat memilih wakil-wakilnya yang akan duduk di parlemen dan pemerintahan. Sejak negara-negara modern mengadopsi sistem demokrasi tidak langsung maka pemilu, parlemen, dan partai politik menjadi tiga aspek uatama yang sangat penting untuk proses pelembagaan politik demokrasi. Sedemikian pentingnya maka hak pilih dan pemilu sampai perlu di nyatakan eksplisit dalam Deklarasi HAM PBB tahun 1948 dan juga di dalam Konvenan hak-hak sipil dan politik yang sudah diratifikasi oleh banyak negara di dunia, termasuk juga Indonesia.
       Konvensi Internasional tentang hak politik perempuan Pasal 1 mengatakan bahwa perempuan berhak memberikan suara dalam semua pemilihan dengan status sama dengan laki-laki tanpa diskriminasi. Pasal 2 mengatakan bahwa perempuan dapat dipilih untuk status sama dengan pria tanpa diskriminasi. Pasal 3 mengatakan bahwa perempuan berhak menduduki jabatan resmi dan menyelenggarakan semua fungsi resmi yang diatur oleh hukum nasional dengan status sama dengan pri tanpa diskriminasi. Hak politik perempuan yang telah telah di jamin dalam konvensi internasional mengenai Hak Sipil dan Politik ini diratifikasi Indonesia melalui UU Nomor 12 tahun 2005 tentang pengesahan International Covenant on Civil and political Rights (Kovenan International tentang Hak-hak Sipil dan Politik.
       Meskipun secara historis keterlibatan kaum perempuan di ranah politik Indonesia memiliki akar yang panjang, namun realitas kekinian justru memperlihatkan hal yang tidak mengembirakan. Keterlibatan kaum perempuan di dunia politik, khususnnya dalam sektor kelembagaan formal (DPR/DPRD) , masih jauh dari harapan. Kalau di lihat dari segi perbandingan antara jumlah populasi perempuan Indonesia yang diperkirankan mencapai separuh dari jumlah penduduk , dengan mereka yang terlibat dalam politik, maka sebenarnya hal itu tidak terlalu sinifikan. Bahkan boleh dikatakan terlalu senjang.
       Menurut Budi Shanti dalam kouta perempuan perlemen : Jalan Menuju Kesetaraan Politik sebagaimana di kutip Dian Eka Rahmawati (dalam Siti hartiti Sastriyani,2008), keterlibatan perempuan dalam dunia politik Indonesia, begitu pula di negara-negara berkembang pada umumnya, boleh dikatakan memang terlambat. Dilihat dari persepeltif gender, hal tersebut tidak lepas dari srereotipe perempuan dan politik. Stigma bahwa perempuan idetik dengan sektor domestik sering dianggap sebagai salah satu penyebab terlambatnya dan sedikitnnya perempuan yang terlibat dengan dunia politik. Sementara dunia politik sendiri dianggap lekat dengan dunia yang keras, penuh persaingan, membutuhkan rasionalitas dan bukan emosi, adalah ciri-ciri yang melekat pada gender laki-laki dan jauh dari sifat-sifat feminim.
       Memang kemudian ada upaya untuk meningkatkan keterlibatan kaum perempuan dalam dunia politik melalui apa yang disebut dengan affirmative action yang diusung para aktivis perempuan dan mendapatkan dukungan dari Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan saat itu. Argumentasi dari pemikiran itu adalah bahwa kaum perempuan di dalam situasi sekrang ini harus di berikan “akses istimewa” ke dalam politik, karena, kalau mereka di biarkan bersaing secara bebas dengan kaum lelaki , barangkali sulit untuk menang.
       Argumentasi lainnya adalah ketika orang berbicara tentang sistem politik sebagai mekanisme konversi kebijakan, jeals artikulasi dan agregrasi kepentingan perempuan dalam sistem politik sangat diperlukan. Salah satu strategi yang dianggap akan cukup signifikan mempengaruhi proses konversi kebijakan tersebut adalah dengan adanya wakil perempuan yang proporsional di dalam parlemen. Inilah yang melatarbelakangi di akomodasinnya kuota keterwakilan perempuan sebanyak 30 persen, baik dalam struktur kepengurusan partai maupun pencalengan pada pemilu 2004. Hal ini di akomodasi dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 pasal 65 yang menyebutkan bahwa partai politik hendaknya mempertimbangkan penempatan sekurang-kurangnya 30 persen caleg perempuan dari daftar caleg yang diajukan.
        Selanjutnya di pertegaskan kembali pada pemilu 2009 dalam Undang-undang pemilu Nomor Tentang pemilu Nomor 10 tahun 2008 dan peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Nomor 18 tahun 2008. Dalam masalah pencalengan, ada sejumlah partai politik (Parpol) yang tidak memenuhi kuota tersebut adalah partai pelopor. Partai ini menampilkan 99 caleg untuk 67 daerah pemilihan dengan caleg perempuan 21 orang atau 21 persen (suara pembaruan, 5/09/2008).
      Pada tingkat daerah misalnya, kasus tidak terpenuhi kuota 30 persen keterwakilan caleg perempuan di temukan di kota Bandung. Menurut data KPU Kota Bandung, dari 38 parpol peserta pemilu 2009, satu parpol baru yakni Partai Nahdlatul Ummah Indonesia (PNUI) memilih gugur sebagai peserta di tingkat Kota Bandung tanpa mengajukan daftar bakal caleg perempuan (iding R. Hasan, 2008).
      Selain itu, faktor lain yang sangat merugikan kaum perempuan dalam kaitannya dengan kouta tersebut adalah perubahan sistem pemilihan berdasarkan dari nomor ke surat terbanyak. Ini berarti kaum perempuan harus kembali bersaing dengan laki-laki untuk memenangkan pemilihan, karena nomor urut kecil yang mereka peroleh atas dasar kebijakan tersebut, menjadi sia-sia belaka.
Kondisi Perempuan
        Posisi perempuan dalam proses perumusan kebijakan publik secara kuanitas dan kualitas menjadi sangat penting karena Indonesia menganut sistem demokrasi perwakilan. Dalam sistem demokrasi perwakilan, peran partai politik pemilu, dan parlemen (lembaga legislatif) menjadi sentral sebab melalui ketiga pilar ini sistem politik yang demokrasi dapat dihasilkan.peraturan keharusan adanya kouta 30 persen ternyata hanya menghasilkan jumlah 62 perempuan saja dari jumlah keseluruhan anggota (550). Ini berarti hanya 11,3 persen saja, jelas sebuah angka yang sangat kecil apabila di bandingkan dengan jumlah populasi perempuan di negeri ini.
             Dengan demikian kiprah Politik perempuan di Indonesia sudah di mulai cukup lama, bahkan sejak 1950 perempuan telah familiar dengan politik namun belum juga bisa dikatakan hal tersebut hal yang mengembirakan, malah itu menjadi awal dari kelahiran-kelahiran tokoh perempuan, apabila kita mengacu kepada HAM PBB, maka sudah sepatutnya perempuan itu diberikan tempat yang baik, bahkan keluar UU No. 2 tahun 2008 Tentang Partai Politik, barangkali dapat menjadi angin surga, bagi perempuan, dimana dari aturan ini kelualah regulasi, agar setiap partai politik memberikan kuota 30 persen untuk perempuan.
Lalu Apa sebenarnya yang menjadi persoalan tersebut?
       Penulis mencatat dua hal utama yang membuat perempuan kurang sekali mendapatkan tempat tempat di ruang publik khususnya dunia politik, pertama, Persoalan kultur, dimana perempuan sering sekali di pandang atau indetitik dengan dapur, sumur, dan kasur. Sehingga di saat kaum perempuan keluar dari ranah tersebut maka sudah dianggap “pamali” di tambah lagi ada beban moral bahwa mereka harus sering berada di dalam kelurganya.
       Kedua, persoalan Struktural,, dimana secara struktural perempuan perannya hanya di ruang lingkup privat sedangkan laki-laki dalam ruang lingkup publik. Sehingga perempuan sangat sedikit di berikan ruang untuk bertarung di dalam perpolitikan, walaupun amanah konstitusi telah memberikan peluang kepada perempuan, bahkan di saat Megawati bersaing dengan Gus Dur, di dalam pemilu tahun 1999, kekalahan Megawati tersebut, di sinyalir ada hubungannya dia sebagai pereempuan, karena hampir seratus persen kompisi DPR-MPR adalah laki-laki.(Buku pintar seri senior:Karangan H.M.Iwan Gayo, hlm.8).
         Lantas apa solusi untuk meningkatkan posisi perempuan di dalam dunia perpolitikan?
       Cukup sulit merumuskan suatu formula yang begitu tepat, untuk meningkatkan posisi perempuan di dalam dunia perpolitikan , penulis menawarkan lima cara yang patut, untuk digunakan, pertama, kaum perempuan harus berani mendorong terjadinya rekonstruksi budaya, khususnya mengubah budaya patriarki menjadi budaya yang mengapresiasi kesetaraan gender dan kesedejaratan perempuan dan laki-laki dalam seluruh aspek kehidupan.
       Kedua, harus ada upaya pemberdayaan kaum perempuan, inti dari upaya ini adalah menanamkan kesadaran gender di kalangan perempuan bahwa ada ketidakadilan yang terus menerus menimpa dan membelenggu mereka. Ketiga, terus meningkatkan jaringan antar kelompok perempuan dari berbagai elemen. Keempat, pada tatarana internal kaum perempuan sendiri harus selalu berupaya meningkatkan kemampuan dan keterampilan politik sehingga keterlibatan mereka di dalam dunia tersebut benar-benar memberikan makna yang signifikan. Dan yang terakhir adalah, para aktivis perempuan juga jangan hanya aware terhadap isu-isu keperempuanan saja, sehingga terkesan narrow-minded, atau hanya berpikir untuk kepentingan sempir dirinya sendiri. Namun harus juga berbicara berkenanaan dengan kepentingan-kepentingan lain yang lebih besar, yaitu negara dan bangsa. Ini akan sangat berpengaruh terhadap merespons dari kaum laki-laki, shingga bukan tidak mungkin akan mendapat apresiasi yang tinggi.   
      Penulis begitu optimis apabila kedepan, perempuan akan lebih memiliki ruang yang lebih banyak lagi untuk terlibat aktif di dunia perpolitikan, toh itu sudah menjadi amanah konstitusi yang mesti kita laksanakan, semoga kedapan perempuan dan politik tidak boleh dipandang sebagai sesuatu yang aneh.


Posting Komentar

0 Komentar