Gombalisme MoU Helsinki



Perang paling sulit adalah perang melawan ketidakpedulian
Mustafa Kemal Attartuk

 Terlihat seperti tidak ada harapan sedikitpun untuk menyelamatkan nilai manusia melalui program penegakan HAM. Kondisi seperti ini menampilkan gombalisme kolektif yang dipelopori oleh Pemerintah. Gombalisme dengan mekanisme peyakinan masyarakat atas kenyataan yang mereka alami, telah mengarahkan korban politik (perang) selayaknya domba yang digembala. Pengaruh dari bisikan-bisikan ponerolog menjadi penentu HAM dikubur atau diselamatkan.
  Proses politik yang selama ini dimainkan, tidak lebih dari absurditas kebijakan atas pemaknaan nilai ontologis manusia. Kebijakan nir-moral tentang penyelamatan, pemeliharaan dan penegakan HAM sengaja diluputkan dari liputan ingatan para generasi. Didukung pula oleh ketidakpedulian muda-mudi dewasa ini, maka program pelupaan massal (Collective Amnesia) berlaku tanpa hambatan dan itu semakin mengkritstalkan impunitas. Reformasi 1998 secara nasional dan 2005 secara khusus di Aceh, semakin meruncingkan apa yang disebut Galtung sebagai Systemic Violence (Kekerasan Tersistem).

 Ada pepatah mengatakan, Nothing New Under The Sun (tidak ada yang baru di bawah mentari). Tentu hal tersebut menginformasikan kepada makhluk yang memiliki akal sehat, bahwa setiap tragedi yang terjadi pada masa lalu, sekarang dan masa depan hanyalah pengulangan dengan pola-pola modernitas. Proses etis dari seluruh program politik untuk menyelesaikan setiap inci kekerasan masa lalu itu, tidak lebih segudang dusta dengan bungkusan retorika kerakyatan. Patokrasi yang bermula semenjak proyek pembodohan umat melalui politik verbal, menjadi sangat menjanjikan untuk dilakukan.

Gombalisasi Politik Asasi
 Gombal lebih dikenal oleh banyak orang sebagai pertunjukan humor nir-makna, yang dilakoni oleh para pembual, guna memberikan hiburan bagi masyarakat dengan kehidupan putus asa. Dalam lingkup lebih kecil, geombal sering dilakukan oleh seorang lelaki terhadap seorang wanita, dengan tujuan untuk meluluhkan hati si wanita. Atau sebagai proses pengindah suasana bagi orang-orang sedang dirudung rasa ingin menguasai. Dalam kebiasaan psikologi, proses pendekatan yang dilakukan seseorang dengan cara menggombal, berpotensi si pelaku gombal ingin menjadi pihak yang paling dibutuhkan oleh si pendengar.

 Keadaan demikian, menuntun pendengar (rakyat) menjadi objek yang paling rentan untuk dimanipulasi bahkan paling parah, diperbudak oleh kebutuhan mereka sendiri. Praktik politik seperti itu hanya berlaku pada masyarakat yang meminjam istilah Collier (2004) Dead-Lock Orientation Societies (masyarakat tidak percaya diri dan putus asa). Ketidakpercayaan diri dan keputusasaan yang mereka alami, adalah ekses dari peperangan begitu parah menghantam psikologi mereka.

 Politik gombalisme, sama sekali tidak melihat kondisi itu sebagai sesuatu yang penting untuk diseriusi, malah menilai hal demikian sebagai efek natural sebuah perang. Dengan kata lain, definisi ontologis sudut pandang semacam itu adalah, membenarkan praktik immoral dan dehumanisasi dalam peperangan, dan menggombalkannya pada masa sekarang dengan membawa nama konstitusi. Ilmu politik menyebutnya dengan istilah impunitas.

 Moral Chaos yang menjadi rutinitas masyarakat, baik korban awal maupun korban terbaru, menunjukkan betapa runyam-nya konteks pengelolaan substantial needs manusia di Indonesia. Rezim insfrastruktur begitu menyolok, mengubah manusia bangsanya seolah robot yang dikontrol dengan berbagai macam Top-Down Policies. Kapasitas daya pikir tidak sama sekali dimiliki oleh pemilik (penggombal) kebijakan. Semuanya harus sesuai keinginan sekelompok borju, kapitalisasi segala sisi.

 Penggombal dan pembual menjadi satu kelompok, yang eksistensi mereka sama sekali tidak memiliki esensi. Hal itu semakin diperparah pada saat-saat masyarakat didesak dan disesaki pesta demokrasi. Gombalisasi asasi manusia yakni senjata untuk menembak para konstituen menggunakan segenap kuasa kata, kuasa media bahkan kuasa Tuhan yang dimanipulasi. Kesemuanya dilakukan dalam momen Pemilu, dipraktikkan oleh para penipu (penggombal) dan didukung oleh para penyabu (pembual). Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt dalam karya mereka How Democracies Dies (2018) menyebutnya, pembusukan demokrasi sering dilakukan oleh mereka yang memenangkan kompetisi politik dengan cara tirani dengan mengatasnamakan demokrasi. Dengan kemenangan itulah, cabang kekerasan semakin berkembang.

 Penguasa dan para budak pendukungnya, menjadi tameng paling penting untuk membenamkan destruktifikasi asasi yang dilakukan otoritas pada masa dahulu. Kristalisasi impunitas semakin menjadi-jadi ketika orang baik yang tidak tegas menjadi tumpuan negara. Tidak pentingnya nilai manusia, juga disebabkan saat kebaikan terlalu lembek menghadapi sekumpulan ponerolog (Setan Politik).

Idi Cut-Arakundoe: Rute Penggombalan Kehidupan
 Rabu, 03 Februari 1999 dinihari, durasi waktu dari pukul 01.00-menjelang azan Subuh, praktik menggombali kehidupan orang lain dimainkan sangat apik, oleh aparat bersenjata. Arogansi militerisme telah membawa gombal-petaka pada kala itu, hingga menyisakan puing-puing drama-aniaya. Petaka sejenis demikian, tidak hanya terjadi di Aceh, hampir diseluruh daerah mengalami hal serupa, dilakukan oleh kelompok yang sama, dengan menggunakan alasan yang sama; demi keamanan negara. Stanley Milgram (1974), dalam bukunya tentang kepatuhan pasukan muda Nazi, Obedience To Authority: An Experimental View menyuguhkan gagasan bahwa, kekerasan yang dilakuan oleh Pemerintah terhadap musuhnya, tidak akan berjalan sempurna, tanpa ada pion yang melaksanakannya. Artinya, ada orang-orang yang menerima perintah secara total (Men Just Following Orders), untuk mewujudkan kehendak si penggombal.

Kemudian apa yang menjadi program saat ini untuk mengurai tragedi tersebut, hanyalah pelipatgandaan gombal-gombal selanjutnya dilakukan oleh mereka yang menyebut diri pejuang. Aceh mengalami dua kali reformasi, dan kedua-duanya gagal. Reformasi secara nasional pada 1998, dan reformasi secara otonom pada 2005. Melihat Aceh seharusnya bisa lebih terang menggunakan kacamata 2005, atau kacamata MoU Helsinki, malah sebaliknya, semakin dipakai, semakin membutakan.

Frekuensi kekerasan dalam proses merealitakan seluruh janji 2005 silam cenderung tinggi, termasuk juga kecenderungan untuk melahirkan korban baru (New Victims), mengorbankan yang telah menjadi korban (Re-victimisation), dan setiap korban dalam peristiwa politik, adalah selalu mereka yang tidak mengetahui apapun (Innocent Civillian). Acapkali barbarisme perang adalah hukum itu sendiri, Tindakan illegal adalah keharusan, diulang berkali-kali, maka saat itu terbentuklah banalitas kebiadaban perang. Hal yang sangat bertentangan dengan hukum perang.

Gaungan terlalu keras tentang kekhususan Aceh hanya mengkusutkan esensi manusia Aceh itu sendiri, dikusutkan oleh mereka yang terlalu pekak dengan erangan siksa dari pedihnya kebijakan. Praktik anggota parlemen dalam kesehariannya hanya mempertontonkan kebodohan cara berpikir, kemalasan berbuat ikhlas, keserakahan mengeruk modal hingga memporak-porandakan moral yang masih sedikit lagi tersisa. Begitupun dengan eksekutif, tuli total dengan segenap tanggung jawabnya. Akumulasi Tindakan demikian adalah bukti, betapa hebatnya mereka menjadi penggombal, menggombali hingga menumbalkan konstituen mereka menggunakan kata suci “perjuangan” di balik tirai tiap lembaran Nota Kesepahaman 2005.

Perwujudan yang begitu paradoks telah mengantarkan Aceh dalam kelumpuhan dengan segenap kekuatan yang (pernah) dimiliki. Tidak ada nilai substansial sedikitpun dalam tindakan politik hari ini. Perang pada hari kemarin diyakini sebagai kesuksesan bagi para penikmat gila materi, dan selalu menjadi kegagalan bagi mereka yang tersisihkan. 

Perang; yang langsung maupun tidak langsung juga menjadi bagian gombal-gombal kebijakan. Sebuah tontonan politik yang dinikmati para ponerolog, ditepuk, diteriaki dan disoraki oleh budak-budak mereka. Nota Kesepahaman 2005 itu menjadi lembar perdamaian bagi politisi dan elit ku’eh (licik).

Hari ini, kembali pada Rabu, 03 Februari 2021, setelah 22 tahun gombal dini hari, kacamata Nota Kesepahaman 2005 itu belum bisa memperlihatkan Aceh dengan kebenaran terangnya. Kekerasan gombalisme itu terus menjadi retorika temporal para ponerolog untuk mengabadikan diri mereka dalam kancah gombal-gombal lainnya. Dengan fakta seperti ini, Nota Kesepahaman 2005 menjadi rujukan strukturisasi gombalisme internasional untuk Aceh dan Indonesia. Bila Aceh tidak bisa diterangi dengan kacamata MoU Helsinki, tentu saja bisa diterangi menggunakan kacamata gombalisme identitas maupun gombalisme modalitas. Alfatihah kepada seluruh korban kebejatan gombalisme 03 Februari 1999, di depan Mapolsek Idi Cut, dan tujuh korban meninggal di buang ke sungai Arakundoe, Kecamatan Julok Aceh Timur. Indonesia tidak sedang baik-baik saja. Alfatihah, Tuhan Maha Adil.

*) Penulis: Iping Rahmat Saputra 
Dosen Ilmu Resolusi Konflik FSH UIN Ar-Raniry


Posting Komentar

0 Komentar