MEMAHAMI TEORI KRITIS MENURUT HABERMAS



Jurgen Habermas (foto: Facebook)

Oleh Nasrul Azwar[1]
Abstrak
Jurgen Habermas dilahirkan pada tahun 1929 di Dusseldorf, Jerman. Pemikiran – pemikirannya sangatlah rumit dan penuh filosofi. Ia  adalah  salah  seorang  tokoh  dari  Filsafat  Kritis. Ciri  khas  dari filsafat kritisnya adalah, bahwa ia selalu berkaitan erat dengan kritik terhadap hubungan-hubungan  sosial  yang  nyata.  Pemikiran  kritis  merefleksikan  masyarakat  serta  dirinya sendiri dalam konteks dialektika struktur-struktur penindasan dan emansipasi. Habermas merumuskan teorinya itu sebagai dasar epistimologisnya dengan menyatakan bahwa ilmu pengetahuan bersifat kognitif, sehingga ilmu pengetahuan tidak pernah bebas nilai. Habermas menjadi pembaharu teori kritis dari para pendahulunya semisal Hokheimer dan Andorno. Teori kritis oleh pendahululnya dianggap mengalami kebuntuan sehingga ia tampil sebagai pembaharu teori kritis dan membuka kebuntuan itu dengan paradigm komonikatitfnya.Ia mengemukakan bahwa agar bersifat emansipatoris,maka teori kritis harus mengarahkan masyarakat komunikatif. Masyarakat yang demikian harus memenuhi persyaratan-persyaratan komunikasi yang bebas dan terbuka.

Kata kunci : Teori Kritis, mazhab frankfrut, emansipatoris, komunikatif

Pendahuluan.
1.      Latar Belakang
Habermars adalah filsuf pewaris pemikiran mazhab Frankfrut.  Pemikirannya bertumpu pada usaha sebuah teori yang secara memadai merumuskan syarat syarat nyata perwujudan sebuah masyarakat yang bebas dari penindasan.Aliran pemikiran kritis mulai berkembang sekitar tahun dua puluhan. Tokoh-tokohnya  antara lain  Georg  Lukacs,  Karl  Korsch,  Ernst  Bloch,  Antonio  Gramsci  dan lainnya. Teori Kritis bukanlah suatu teori ‘ilmiah’ sebagaimana dikenal secara luas di kenal di kalangan publik akademis dalam masyarakat kita. Habermas melukiskan Teori Kritis sebagai suatu metodologi yang berdiri di dalam ketegangan dialektis antara filsafat dan ilmu pengetahuan (sosiologi). Dalam ketegangan itulah dimaksudkan bahwa Teori Kritis tidak berhenti pada fakta obyektif seperti dianut teori-teori positivis.
Teori Kritis hendak menembus realitas sebagai fakta sosiologis, untuk menemukan kondisi-kondisi yang bersifat transendental yang melampaui data empiris. Dengan kutub ilmu pengetahuan dimaksudkan bahwa Teori Kritis juga bersifat historis dan tidak meninggalkan data yang diberikan oleh pengalaman kontekstual. Degan demikian Teori Kritis tidak hendak jatuh pada metafisika yang melayang-layang. Teori kritis merupakan dialektika antara pengetahuan yang bersifat transedental dan yang bersifat empiris.
Karena sifat dialektis itu Teori Kritis dimungkinkan untuk melakukan dua macam kritik. Di satu pihak melakukan kritik transendental dengan menemukan syarat-syarat  yang memungkinkan  pengetahuan dalam diri subyek sendiri. Di lain pihak melakukan kritik imanen dengan menemukan kondisi-kondisi sosio-historis dalam konteks tertentu yang memengaruhi pengetahuan menusia. Dengan kata lain, Teori Kritis merupakan Ideologiekritik ( Kritik-Ideologi), yaitu  suatu refleksi diri untuk membebaskan pengetahuan manusia bila pengetahuan itu jatuh dan membeku pada salah satu kutub, entah transedental entah empiris[2].
Dalam konteks masyarakat industri maju, Teori Kritis sebagai kritik ideologi mengemban tugas untuk membuka ‘kedok’ ideologis dari positivisme. Positivisme bukan sekedar pandangan positivistis mengenai ilmu pengetahuan  melainkan jauh lebih luas lagi, positivisme sebagai ‘cara berpikir’ yang menjangkiti kesadaran masyarakat industri  maju.
Dari keseluruhan keprihatinannya atas permasalahan rasionalitas zaman ini, dapat dikatakan bahwa Teori Kritis mengarahkan diri pada dua taraf yang berkaitan secara dialektis. Pada taraf teori pengetahuan, Teori Kritis berusaha untuk mengatasi saintisme atau positivisme.  Pada taraf teori sosial, kritik itu dibidikkan ke arah berbagai bentuk penindasan ideologis yang melestarikan konfigurasi sosial masyarakat yang represif.
Pada kedua taraf itu saling mengandaikan, seperti dinyatakan Habermas: “… suatu kritik radikal atas pengetahuan itu mungkin hanya sebagai teori social”. Pemahaman positivisme atas ilmu-ilmu sosial mengandung relevansi politik yang sama beratnya dengan klaim-klaim politis lain karena pemahaman itu berfungsi dalam melanggengkan status quo masyarakat[3]. Sebaliknya, interaksi social sendiri  diarahkan oleh cara berpikir teknokratis dan positivistis yang pada prinsipnya adalah rasio instrumental atau rasionalitas teknologis. Ke dalam situasi ideologis itulah Teori Kritis membawa misi emansipatoris untuk mengarahkan masyarakat menuju masyarakat yang lebih rasional melalui refleksi diri. Di sini teori mendorong praxis hidup politis manusia.
Meskipun terdapat garis umum yang sama, Teori Kritis itu cukup bervariasi dalam gaya dan isinya menurut pemikirannya masing-masing, baik itu Horkheimer, Adorno atau Marcuse.  Sementara Teori Kritis menurut Habermas secara khusus mempebaharui Teori Kritis Mazhab Frankfurt yang mengalami jalan buntu. Tanpa meninggalkan keprihatinan para pendahulunya, untuk mengadakan perubahan-perubahan structural secara radikal, Habermas merumuskan kepribatinan itu secara baru. Perubahan itu tidak dapat dipaksakan secara revolusioner melalui ‘jalan kekerasan’, juga tak dapat dipastikan datangnya seperti gerhana matahari. Memaksakan perubahan revolusioner melalui kekerasan hanyalah akan mengganti penindas lama dengan penindas baru, seperti terjadi pada rezim Stalin.
Di lain pihak, masyarakat memang tidak akan berubah selama angggota-anggotanya menunggu datangnya perubahan bagaikan menunggu terjadinya gerhana. Menurut Habermas – dan inilah gagasan orisinalnya — transformasi social perlu diperjuangkan melalui ‘ dialog-dialog emansipatoris’ . Hanya melalui ‘jalan komunikasi’ dan bukan melalui ‘jalan dominasi’ inilah diutopikan terwujudnya suatu masyarakat demokratis radikal, yaitu masyarakat yang berinteraksi dalam susasana ‘komunikasi bebas dari penguasaan’.
Pandangan Habermas inilah yang kiranya menarik untuk kita simak lebih dalam. Di tengah derap pembangunan dalam masyarakat kita, kontradiksi-kontradiksi yang diakibatkan oleh perubahan-perubahan sosio-kultural menghasilkan tidak hanya kemajuan, tetapi juga kemajuan yang timpang.
Ketidakadilan sosial bukan hanya fakta yang sedang diusahakan perbaikannya melainkan pula suatu keadaan yang terlestasikan secara tersamar dan menjadi suatu iklim. Situasi semacam itu tidak hanya memerlukan penanganan teknis –praktis, melainkan juga perlu menerima terang teoritis yang bersifat kritis untuk mengoyak selubung ideologis yang menggelapkan pengetahuan para anggota masyarakat mengenai realitas sosialnya. Dalam situasi semacam itulah diperlukan kritik ideologi, baik terhdap ilmu-ilmu yang melukiskan fakta sosial itu maupun terhadap masyarakat itu sendiri.




Pembahasan
1.      Dasar Pemikiran Jurgen Habermas
Habermas belajar di bawah Ardono selama bebe­rapa tahun dan umumnya dikenal sebagai pewaris kon­temporer utama dari warisan Frankfurt. Walaupun ter­dapat tema-tema umum yang berbeda antara karyanya dengan karya dari para pendahulunya, namun demikian dia mengambil hal itu dalam arah yang berbeda sama sekali. Kita membandingkan Lukaes dengan Ardono, Marcuse dan Horkheimer sebagai wakil-wakil pesimistik dan optimistik dari kerangka kerja teoritis yang se­cara mendasar sama. Apa yang menyatukan mereka adalah minat yang sangat besar terhadap kebebasan manusia, betapapun tipisnya kemungkinan dari adanya kebebasan itu dalam dunia riil.
Habermas juga mengekspresikan per­hatian yang sama tetapi nampaknya dia kurang sedemi­kian melibatkan diri. Dia keluar dari sayap optimisme ke pesimisme dan sebagai gantinya dia memberikan per­hatian yang besar terhadap analisa mengenai struktur-struktur dan tindakan sosial di bandingkan para penulis yang terdahulu[4].
Habermas bukanlah seorang yang bersifat radikal dalam seumur hidupnya, nampaknya setelah pertumbuhan dalam Nazi. Jerman, dia hanya mu­lai bergerak ke kiri di bawah pengaruh dari Ardono.  Untuk sementara pada pertengahan tahun 1960-an, dia adalah seorang pendukung yang kuat dari mahasiswa sayap kiri, tetapi kemudian menjauhkan dirinya dari mereka, sambil mengatakan bahwa mereka hanya membangun bentuk-bentuk dominasi baru. Karyanya sering diambil oleh golongan kiri, tetapi hal itu termasuk suatu per­pindahan yang radikal dari bentuk-bentuk Marxisme. Paper ini juga mencoba membahas kritikannya terhadap Marxisme dan akhirnya pada pokok analisanya mengenai masyarakat kapitalis modern.

2.      Perkembangan Pemikiran Jurgen Habermas
Titik tolak pemikiran Habermas adalah pada faham Horkheimer dan Adrono diatas.  Dalam  pemikiran  Habermas,  Teori  Kritiss  dirumuskan  sebagai  sebuah  “filsafat empiris sejarah dengan  maksud praktis”[5]. Agar teori kritis dapat bertindak emansipatoris, maka menurut Horkheimer: (1) teori kritis harus selalu curiga dan kritis terhadap masyarakat;(2) teori kritis berpikir secara historis; (3) teori kritis tidak memisahkan teori dengan praxis.
  Empiris dan ilmiah,  tetapi tidak  dikembalikan kepada ilmu-ilmu empiris-analitis;  filsafat di sini berarti refleksi kritis bukan dalam arti menetapkan  prinsip-prinsip  dasar;  historis  tanpa  jatuh  ke  dalam  historisistik;  kemudian praktis, dalam arti terarah pada tindakan politis emansipatoris[6].
a.  Ilmu dan Kebebasan Nilai
Masalah  pokok  yang  menjadi  persoalan  adalah  apakah  ilmu-ilmu  pengetahuan,terutama ilmu-ilmu sosial, harus bekerja dengan bebas nilai. Para pendukung kebebasan nilai  memberi  jawaban  afirmatif,  bahkan  mereka  menambahkan  bahwa  metode  yang dipakai  dalam  ilmu-ilmu  alam  dan  ilmu-ilmu  sosial  tidak  berbeda.  Artinya  kalau  ilmu ilmu  sosial  mau  berlaku  sebagai  ilmu  pengetahuan  harus  menghasilkan  hukum-hukum umum dan prediksi-prediksi ilmiah seperti dalam ilmu-ilmu alam. Dan penjelasan ilmiah tidak  memihak  dan  tidak  memberi  penilaian  apapun.  Atas  dasar  pendapat  ini,  para pendukung kebebasan nilai dimasukkan dalam kubu positivisme. Teori kritis melemparkan kritikan tegas terhadap positivisme.
Dikatakan bahwa positivism hanya bertindak objektif dengan mengatakan bahwa ilmu pengetahuan bebas nilai, padahal ia menyembunyikan kekuasaan dengan mempertahankan status qou masyarakat dan tidak mendorong perubahan. Jika dirunut keawal sejarahnya teori kritis seak Hokheimer berasal dari persoalan paham posiivisme yang salah memandang keberadaan ilmu – ilmu social bebas nilai, terlepas dari praktik social dan moralitas yang dipakai untuk prediksi, bersifat objektif dan sebagainya.
Anggapan itu menadi kepercayaan umum bahwa satu satunya pengetahuan yang benar adalah pengetahuan ilmiah yang diperoleh dengan menerapkan ilmu ilmu alam pada ilmu social (saintisme). Menanggapi hal itu mazhab frankfrut member alternative dengan teori kritisnya sebagai teori yangmemihak praksis emansipatoris. Menurut  Habermas  setiap  penelitian  ilmiah  diarahkan  oleh  kapentingan-kepentingan vital umat manusia (baik dalam ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial). Oleh karena itu kebebasan nilai merupakan ilusi  tidak hanya bagi ilmu-ilmu sosial, melainkan juga bagi ilmu-ilmu alam.
Di  dalam  pengertian  mengenai  kepentingan  dan  mengarahkan  pengetahuan tercakup  dua  momen:  pengetahuan  dan  kepentingan.  Dari  pengalaman  sehari-hari diketahui,  bahwa  ide-ide  seringkali  berfungsi   memberikan  arah  kepada  tindakan tindakanAtau  ide-ide  merupakan  motif  pembenaran  atas   tindakan.  Apa  yang  pada tingkat tertentu disebut rasionalisasi, pada tingkat kolektif dinamakan ideology[7].
Menurut Habermas, segala sesuatu tindakan manusia didasarkan pada tiga kepentingan dasar. Pertama, kepentingan teknis, yaitu untuk menguasai alam.Kedua, kepentingan praktis, untuk berkomuni-kasi. Ketiga, kepentingan emansipatoris untuk menentang segala paksaan (Suseno, 1977:123)[8]. Di dalam kehidupan masyarakat modern bidang kehidupan manusia seolah-olah demi kepentingan teknis saja. Oleh karena itu untuk mendobraknya dapat dilaksanakan dengan refleksi. Melalui refleksi ini sejarah pengalaman penderitaan manusia dapat disadari, utamanya kesadaran emansipatoris.
Di  dalam  bagian  akhir  esainya  tentang  Dogmatism,  Reason  and  Decision,Habermas mengemukakan bahwa “hanya rasio yang sepenuhnya sadar akan kepentingan dalam  kemajuan  refleksi  ke  arah  otonomi  dan  tanggungjawab,  yang  tak  henti-hentinya berpikir  dalam  setiap  diskusi  rasional,  akan  mampu  meraih  kekuatan  transenden  darikesadaran  akan  keterlibatan-keterlibatan  matrialistisnya  sendiri”[9].  Yang  dimaksud  di  sini adalah rasio yang melakukan refleksi-diri (kritis) dengan didorong oleh kepentinga untuk membebaskan diri dari kendala-kendala dari luar maupun dari dalam subjek pengetahuan, yaitu kepentingan emansipatoris.
Agar teori kritis dapat bersifat emansipatoris, maka ia harus mengarahkan masyarakat komunikatif[10]. Masyarakat yang demikian harus memenuhi persyaratan-persyaratan komunikasi yang bebas dan terbuka. Kiranya menjadi tepat, kalau semua merasa berkepentingan pada pembelaan masyarakat yang terbuka, bebas dan menghormati martabat semua anggota, mereka harus mengusahakan kemampuan berkomunikasi bebas dari tekanan yang semakin luas.

b.  Masyarakat, Sejarah dan Paradigma Komunikasi
Perkembangan  filsafat  sosial  sejak  Marx  sudah  disibukkan  dengan  usaha mempertautkan  teori  dan  praksis.  Masalahnya  adalah  bagaimana  pengetahuan  tentang masyarakat dan sejarah bukan hanya sebuah kontemplasi, melainkan mendorong “praksis perubahan sosial‟. Praksis ini bukanlah tingkah  laku buta atas naluri belaka,  melainkant indakan dasar  manusia sebagai  mahluk sosial.  Dengan demikian  praksis diterangi  oleh„kesadaran rasional‟, karenanya bersifat emansipatoris.Habermas  dalam  eseinya,  Labor  and  Interaction:  Remarks  on  Hegel’s  Jena ‘Philosophy of Mind’, mengatakan bahwa Hegel memahami praksis bukan hanya sebagai„kerja, melainkan juga komunikasi.
 Karena praksis dilandasi kesadaran rasional, rasiotidak  hanya  tampak  dalam  kegiatan  menaklukan  alam  dengan  kerja,  melainkan  jugadalam  „interaksi  intersubjektif’  dengan  bahasa  sehari-hari.  Jadi  seperti  halnya  kerja membuat  orang  berdistansi  dari  alamnya,  bahasa  memungkinkan  distansi  dari  persepsi langsung, sehingga baik kerja maupun bahasa berhubungan tidak hanya dengan praksis, tetapi juga dengan rasionalitas
Agar teori kritis dapat bertindak emansipatoris, maka menurut Horkheimer: (1) teori kritis harus selalu curiga dan kritis terhadap masyarakat;(2) teori kritis berpikir secara historis; (3) teori kritis tidak memisahkan teori dengan praxis.
Habermas  memperlihatkan  kelemahan  para  pendahulunya,  karena  tidak  hanya mengandaikan  praksis  sebagai kerja,yang disebutnya tindakan rasional bertujuan’,melainkan  juga  rasionalisi sebagai penaklukan,  kekuasaan,  atau  apa  yang  disebutnya rasio  yang  berpusat  pada  subjek.  Modenisasi  kapitalis  berjalan  timpang  karenamengutamakan  rasionalisasi  dalam  bidang  subsistem-subsistem tindakan rasional bertujuan dan mengesampingkan rasionalisasi di bidang kerangka-kerja institusional atau komunikasi.  Rasionalisasi  praksis  komunikasi  ini  adalah  dasar  khas  teori  social Habermas[11].
Habermas  menerima  asumsi  Marx  bahwa  sejarah  berjalan  menurut  logika perkembangan  tertentu,  hanya  ia  tidak  setuju  bahwa  teknologi  dan  ekonomi  menjadi motor  perkembangan  sejarah.   Apa  yang  oleh  Marx  disebut  cara  produksi  masyarakat,menurutnya  justru  dimungkinkan  oleh  proses  belajar  dimensi  praktis-moral  masyarakat itu,  yakni  prinsip-prinsip  organisasinya.  Jadi,  kapitalisme  adalah  sebuah  kasus  dalam evolusi sosial; dan dalam kasus itu, prinsip organisasi kapitalis memungkinkan ekonomidan  teknologi  mengatur  interaksi  sosial.  Karena  kapitalisme  hanyalah  sebuah  kasus,peranan teknologi dan ekonomi tidak bisa diuniversalkan untuk segala zaman dan segalabentuk formasi sosial.
Dengan  asumsi  bahwa  masyarakat  pada  hakekatnya  bersifat  komunikatif,Habermas kemudian mengganti paradigma produksi dari materialisme sejarah itu dengan paradigma komunikasi. Jadi sebagai ganti peranan cara-cara produksi, ia mengutamakanperanan  struktur-struktur  komunikasi  sosial  dalam  perubahan  masyarakat[12]. Strukturstruktur komunikasi ini, menurut Habermas lebih hakiki untuk masyarakat daripada cara cara produksi, sebab cara-cara produksi yang juga melibatkan proses belajar berdimensi teknis itu diatur oleh struktur-struktur komunikasi.
Rasionalisasi  kekuasaan  pada  gilirannya  mengangkat  isu  demokrasi  dalam  arti bentuk-bentuk  komunikasi  umum  dan  publik  yang  bebas  dan  terjamin  secara institusional. Dalam pandangan Habermas, hanya kekuasaan yang ditentukan oleh diskusipublik yang kritis merupakan kekuasaan yang dirasionalisasikan. Dalam politik modern hanya model  ‘pragmatis’lah  yang berkaitan  dengan  demokrasi. Dalam  model  pragmatis ini,  pemisahan  ketat  fungsi  tenaga  ahli  dan  politikus  diganti  dengan  ‘interaksi  kritis’.
Model  ini  memungkinkan  adanya  komunikasi  timbal  balik  di  antara  para  ahli  dan  para politikus, yang pada gilirannya  memungkinkan para ahli itu memberikan nasihat ilmiah untuk  para  pengambil  keputusan,  dan  para  politikus  berbincang  dengan  para  ilmuwan menurut  kebutuhan-kebutuhan  praktis.  Komunikasi  macam  ini  dilukiskan  sebagai komunikasi  yang  tidak  didasari  atas  legitimasi  kekuasaan  ideologis,  melainkan  sebuahdiskusi  informatif  ilmiah.  Unsur  interaksi  kritis  dalam  politik  inilah  yang  dilihatHabermas  sebagai  kemungkinan  nyata  bagi  rasionalisasi  kekuasaan  dalam  masyarakat dewasa  ini[13].  Rasionalisasi  yang  demikian  disebutnya  dengan  rasionalisasi  praktis-etis, yang  dalam  pengertian  klasiknya  --dalam  pikiran  Aristoteles--  politik  berhubungandengan etika: ajaran tentang hidup yang baik dan adil dalam „polis‟ atau masyarakat[14]

c. Alternatif Habermas: Rasio Komunikatif dan Pencerahan.
Habermas  berpendapat  bahwa  kritik  hanya  akan  maju  dengan  landasan  ‘rasio komunmikatif’ yang dimengerti sebagai praksis komunikasi  atau  tindakan komunikatif. Ditegaskan  olehnya,  bahwa  masyarakat  pada  hakekatnya  komunikatif  dan  yangmenentukan  perubahan  sosial  bukanlah  semata-mata  perkembangan  kekuatan-kekuatan produksi atau teknologi, melainkan proses belajar dalam dimensi praktis-etis.
Dalam  rasio  komunikatif,  sikap  mengobjektifkan  yang  membuat  subjek pengetahuan  memandang  dirinya  sebagai  entitas-entitas  di  dunia  luar  tidak  lagi istimewa.  Hubungan  ambivalaen  subjek  kepada  dirinya  (memandang  diri  sebagai subjektivitas  yang  bebas  sekaligus  objektifikasi  diri  yang  memperbudak)  dihancurkanoleh inter subjektivitas. Rasio tersebut tidak berasimilasi dengan kekuasaan. Singkatnya ,rasio yang  berpusat pada  subyek, termasuk  pencampuradukan (amalgama)  pengetahuandan kekuasaan, dapat dihancurkan dengan intersubjektivitas rasio komunikatif[15].
Atas  dasar  paradigma  baru  itu,  Habermas  ingin  mempertahankan  isi  normative yang terdapat dalam modernitas dan pencerahan kultural. Isi normatif modernitas adalahapa  yang  disebutnya  rasionalisasi  dunia-kehidupan  dengan  dasar  rasio  komunikatif. Dunia  kehidupan  terdiri  dari  kebudayaan,  masyarakat  dan  kepribadian.  Rasionalisasi dunia-kehidupan ini dimungkinkan lewat tindakan komunikatif[16].

3.      Jurgen Habermas untuk menuju teori praktis
Teori kritis menurut Habermas di sebut dengan “teori dengan maksud praktis” berarti tindakan yang membebaskan model teori kritis dengan maksud praktis ditemukan Habermas. Dalam masalah teori-teori Habermas mempunyai beberapa kepentingan; kepentingan pengetahuan dan kepentingan praktis ide itu bukanlah tidak serupa dengan mengatakan bahwa seorang mahasiswa mengembangkan suatu “kepentingan” dengan maksud untuk memperoleh suatu tingkat dari tujuannya. Kepentingan yang dibicarakan Habermas ini, bagaimanapun juga dimiliki oleh kita semua dalam keanggotaan masyarakat manusia. Argumentasinya berakar di dalam karya Marx, dan kita  temukan kritikan utamanya tentang teori Marx.
Kepentingan selanjutnya yaitu kepentingan praktis, yang pada gilirannya memunculkan ilmu pengetahuan Hermeneutik yang dengan caranya menginterpretasikan tindakan satu sama lain. Baik secara individu, sosial masyarakat maupun  organisatoris secara kritis menurut Habermas[17]. Kepentingan praktis, kata Habermas memunculkan suatu kepentingan ketiga, “kepentingan emansipatoris“. Dia membangkitkan pengetahuan teoritis, untuk itu Habermas mengambil psikoanalisa sebagai model untuk mengkaitkan antara kemampuan berfikir dan bertindak dengan kesa­daran sendiri. Maka, teori bagi Habermas merupakan suatu produk dan memenuhi maksud dari tindakan manusia. Secara esensial itu adalah alat untuk kebebasan manusia yang besar.

Penutup
A.    Kesimpulan
Dari uraian tersebut di atas maka dapat disimpulkan  Bahwa Jurgen Habermas adalah filosof dari Jerman yang menggunakan sifat kritis terhadap berbagai macam per­soalansisial yang nyata. Habermas merupakan generasi kedua mazhab Frankfrut dan penerus Adorno dan Horkheimer. Teori kritis dalam searahnya lahir karena kekeliruan pandangan positivisme terhadap ilmu ilmu social yang dianggap bebas nilai. Habermas mempunyai kesadaran mengkritisi segala tin­dakan yang merugikan sosial, baik itu secara individu kelompok, masyarakat, ataupun organisasi. Habermas menyempurnakan teori kritis dari para pendahulunya dengan rasio komunikatif.  Habermas menggunakan dua pendekatan dalam mengkritisi sesuatu; gaya pemikiran historis dan pemikiran materialis. Dengan demikian ia tidak selalu menggunakan ga­ya filsafat kritis. Karena dia melihat adanya perubahan dalam sosial. Namun perubahan tersebut tetap dalam kerangka sosial yang nyata.    


B.     Saran
Dalam penyusunan paper ilmiah ini, penulis berusaha menyajikan pemahaman terori kritis menurut Habermas yang mudah dipahami oleh pembaca. Namun, tentunya penulis menyadari bahwa banyak kekurangan dalam penulisan paper ilmiah ini. Oleh karena itu, kritik dan saran dari pembaca sangat diharapkan.

Daftar Pustaka
Franz Magnis-Suseno,1992,  Filsafat sebagai Ilmu Kritis, Yogyakarta  Kani­sius
Jurgen Habermas.1990. Ilmu Dan Teknologi Sebagai Ideologi, Jakarta: LP3ES
Hardiman, Francisco Budi .1990. Kritik Ideologi : Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan, Yogyarakarta : Penerbit Kanisius.
Hardiman, F. Budi. 1993. Menuju Masyarakat Komunikatif. Ilmu, Masyarakat, Politik & Postmodernisme Menurut Jurgen Habermas. Yogyakarta: Kanisius
Jay, Martin, Sejarah Mazhab Frankfrut : Imajinasi Dialektis Dalam Perkembangan Teori Kritis, Yogyakarta : Kreasi Wacana, 2005
Gerben Heitink, Practical Theology: History, Theory,Action Domains : Michigan, William B.
Eerdmans Publishing Company.
Suseno, Frans Magnis. 1977. Ringkasan Sejarah Marxisme dan Komunisme. (diktat). Jakarta: Sekolah Tinggi Filsafat Driyar-kara
Bertens, K. Filsafat Barat abad XX  (Inggris-Jerman).Jakarta :PT. Graha Media
Thomas McCarthy.1979. Communication and  The  Evolution of  Society , London:  Heinemann


[1]  Nasrul Azwar, mahasiswa Ilmu Politik, FISIP, Universitas Syiah Kuala, NIM : 1310103010063

[2] Francisco Budi Hardiman,  Kritik Ideologi : Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan i . Yogyakarta, Kanisius, 1990, hal 52
[3] Ibid,. hal 43
[4] Martin Jay, Sejarah Mazhab Frankfrut : Imajinasi Dialektis Dalam Perkembangan Teori Kritis, Yogyakarta : Kreasi Wacana, 2005
[5] Franz Magnis-Suseno, Filsafat Sebagai Ilmu Kritis, Yogyakarta: Kanisius, 1992, hal. 176
[6] Thomas McCarthy,  Communication and  The  Evolution of  Society , London:  Heinemann,  1979.
[7] Jurgen Habermas, Ilmu Dan Teknologi Sebagai Ideologi, Jakarta: LP3ES, 1990, hal. 158.
[8] Suseno, Frans Magnis. Ringkasan Sejarah Marxisme dan Komunisme. (diktat). Jakarta: Sekolah Tinggi Filsafat Driyar-kara, 197: hal 123
[9] F. Budi Hardiman, Menuju Masyarakat Komunikatif, Yogyakarta: Kanisius, 1993, hal. 34.
[10] Ibid,.
[11] Ibid., hal. 97.
[12] Ibid., hal., 116.

[13] Ibid., hal. 128.
[14] Ibid., hal., 134.

[15] Ibid., hal. 229.
[16] Gerben Heitink, Practical Theology: History, Theory,Action Domains, Michigan, William B.
Eerdmans Publishing Company, , hal. 136-137.
[17] Dr. K. Kertens, Filsafat Barat Abad XX (Inggris-Jerman), PT. Graha Media, Jakarta, 1985, hlm 310

Posting Komentar

0 Komentar