Diskusi Publik :Menelisik Toleransi Agama Dan Potensi Radikalisme di Aceh



galeri political Club
Banda Aceh,(22/06/2016), Political club Prodi Ilmu politik FISIP Unsyiah mengikuti acara yang diselengarakan oleh Prodi Ilmu politik FISIP Unsyiah   dan acara ini tersebut memiliki dua rangkaian, pertama diskusi Publik dan yang kedua buka puasa bersama,  dan tersbut dilaksanakan di aula FISIP Unsyiah pada pukul 16.30 s.d Selesai dengan tema, “Menelisik Toleransi Agama Dan Potensi Radikalisme di Aceh”,dengan pemateri, Kamaruzzaman Bustaman Ahmad, Ph,D, Radhi Darmansyah M,Sc dan Masrijal M.A, yang dipadu oleh Dr. Effendi Hasan.
       “Diskusi ini hadir untuk mengkaji terhadap beberapa ketimbangan yang terjadi belakangan ini, salah satunya yang masih hangat ialah terkait pencabutan perda syariat Islam dan juga tentang pernyataan Dr Khalid Basalamah”, ungkap Dr Effendin Hasan.
       “Radikalisme mulai masuk Ke Aceh pada tahun 2005, pada suatu hal yang unik dari sel-sel radikalisme yang lahir ini dan mereka memiliki sistem pembinaan yang unik, dimana misal Saya mengenal pak Radhi namun saya tidak peduli dengan latar belakang dari pada radhi ini, yang mesti saya tahu bahwa saya dan pak radhi memiliki tujuan yang sama, sebenarnya sel-sel mereka sudah bisa dideteksi pada tahun 2006, dan akhirnya pada tahun 2010 gerakan radikalisme meledak salah satunya kejadian di jalin, hal ini menunjukkan bahwa gerakan masih ada namun sekarang ini gerakan ini memainkan pola baru yaitu mereka mulai masuk ke desa tidak seperti sebelumnya yang hanya bermain di kota saja. Ungkap Kamaruzzaman Bustaman Ahmad. 
“Konflik di Aceh memiliki konsep naik turun-naik turun, artinya bahwa konflik di Aceh memiliki konsep yang unik, dimana terkandang konflik ini berada fase klimasnya atau berada pada puncaknya dan kadang kala berada pada fase bawah atau tidak ada konflik. Ketidakadilan merupakan suatu hal yang bisa memunculkan konflik, misalnya, tentangga saya baik pada saya maka tentunya saya juga akan berbuat kepadanya, beberapa masalah ketidakadilan di rasakan dapat menghadirkan konflik laten, ketidakadilan yang besar bisa menjadi jurang pemisah sehingga melahirkan radikalisme, contoh di Aceh Timur kaya dengan minyak, ketika ada kelompok yang tida mendapatkan hasil dari minyak ini maka ia akan melakukan tindakan kriminalitas, sehingga akan menghasilkan sumber konflik baru”, ujar Radhi darmansyah.
“ setelah terjadi tragedi bom di WTC, yang dilakukan oleh kelompok Al-Qaidah pimpinan Usama Bin Laden, maka sejak itulah dunia mulai mencurigai bahwa Islam indetik dengan tindakan radikalisme, apahal apabila kita telusuri maka hal itu tidaklah benar, karena pada dasarnya tindakan radikalisme lahir daripada ketidakpahaman di dalam memahami perbedaan. Ujar Masrijal
       Dengan demikian radikalime hanya bisa di hilangkan apabila dilakukan pembasmian dari akarnya, bukan dilakukan pembasmian di saat sudah menjadi pohon, karena apabila sudah menjadi pohon maka akan sangat sulit untuk dihilangkan, dimana pohon ini memiliki buah dan buah ini memiliki biji sehingga biji bisa berkembang dan akan kembali menjadi pohon, dan pola tersebut akan berlangsung lama.(mun).




 
     

Posting Komentar

0 Komentar