MENUJU PILKADA DAMAI DI ACEH

Sumber gambar geogle
Oleh Munawwar 
      Pilkada adalah cuplikan ketatanegaraan yang sudah demokratis, tanpa pilkada tentunya hal ini menunjukan ketidak demokratisan ketatanegaraan. Negara yang menganut konsep demokrasi sebagai falsafah negaranya maka tentunya pilkada adalah hal yang sangat dinantikan oleh semua rakyat negara tersebut. Pilkada juga tergolong sebagai sebuah solusi perubahan, karena disaat dilaksanakan Pilkada maka sudah barang tentu besar harapan rakyat untuk suatu perubahan.
       Di negara yang sudah lama menerapkan konsep demokrasi. Maka pilkada memiliki makna sebagai pesta rakyat, semua rakyat memiliki andil untuk melaksanakan perubahan dengan mengunakan hak pilihnya, akan tetapi sebaliknya di negara yang menganut konsep kerajaan atau dengan kata lain monarchi maka tidak ada istilah pada negara tersebut, rakyat tidak memiliki hak untuk menentukan perubahan.
       Berbicara daerah Aceh tentunya hal yang sangat familiar dengan kita adalah daerah yang rawan konflik, hal itu memang benar adanya bila kita mengacu sedikit ke sejarah dahulu, izinkan penulis sedikit menceritakan awal mula konflik di Aceh, di saat kedatangan Belanda ke Aceh melalui pelabuhan Ule Lheu merupakan awal kisah pergolokan yang terjadi di Aceh, dimana peristiwa inilah yang mengawali retentan perjuangan rakyat Aceh untuk mengusir Belanda, hal ini juga yang mengubah karakter masyarakat Aceh yang sebelumnya sangat ramah dengan tamu, menjadi sangat selektif dengan tamu yang datang ke Aceh, setelah perang Aceh dengan Belanda usai, 1945 Negara Indonesia mengumumkan kemerdekaannya sebagai sebuah negara yang berdaulat dan Aceh termasuk bagian dari negara Indonesia. Pada tanggal 21 september 1953 Daud Beureuh mengumunkan Aceh memisahkan diri dari Indonesia, dan bergabung dengan negara Islam Indonesia yang dicetuskan oleh kartosoewirjo.
       Hal ini yang mengawali retentan gerakan Daud bereueh didalam berperang dengan tentara Negara Indonesia (TNI), hal ini juga yang membuat Aceh kembali digiring kedalam panggung konflik walaupun sebenarnya konflik ini sampai pada klimasnya disaat dilaksanakan ikrar lamteh. Pada tahun 1976 ,Tgk Hasan Muhammad di tiro mendeklarasikan Gerakan Aceh Mardeka (GAM), yang mana gerakan ini kembali membawa masyarakat Aceh berada dalam kancah konflik.
       Perekonomian Aceh berada dalam situasi yang sangat sulit pada saat itu, akan tetapi Aceh sekarang jauh berbeda dengan yang dulu. Kendati demikian namun tetap saja ada kekhwatiran  yang menyelimuti Aceh bayang-bayang konflik tetap saja masih ada dan juga tindak kekerasaan. Sebagai salah contoh yang masing familiar dengan ingatan kita adalah seperti yang dialami oleh Muhammad Azmumi alias Bodrex, caleg DPRA dari PA (partai Aceh) yang mobilnya musnah dibakar oleh orang tidak dikenal (OTK) (serambi, 20/1/2014), belum lagi aksi pengeroyokan dan penculikan yang dialami Ramli dan Jufradi, keduannya merupakan kader PNA (Asmaul husna, berpolitiklah secara sehat dan santun, Rubrik Opini, serambi Indonesia, 25/1/2014).
       Dari uraian di atas adalah sedikit contoh yang masih membekas dalam ingatan kita semua, bahkan banyak sekali lahir pertanyaan dari masyarakat, akankah pemilukada ini akan berakhir secara damai ataukah akan menimbulkan potensi konflik yang baru. Tentunya pertanyaan itu bukanlah sesuatu yang tidak mendasar,namun merupakan hal yang sesuai dengan realita, maka dari itu keresahan dan kegelisahan adalah sesuatu yang wajar.
Lantas Apa yang harus dilakukan agar proses demokrasi Di Aceh berjalan dengan damai
       Menurut hemat penulis ada beberapa hal yang harus dilakukan oleh penyelenggaran pemilu dalam hal ini Komisi Pemilihan Independen (KIP), berserta jajarannya dan juga BAWASLU beserta jajarannya, yang pertama, Penyelenggaran pemilu harus bersikap tegas apabila ada peserta pemilu yang kedapatan melakukan pelanggaran(Kecurangan), dan juga telah melanggar ketentuan yang telah ditetapkan oleh KIP Aceh maka harus diberikan sanksi atau tidak dicabut haknya sebagai peserta pada pemilihan tersebut. karena Menurut hemat penulis hal ini sangat pelu diambil oleh penyelenggaran pemilu agar tidak terkesan pilih kasih, jujur saja apabila hal itu dibiarkan maka tentunya akan melahirkan potensi konflik lagi, yang mana peserta pemilu lain akan mengarahkan masanya untuk memprotes hal ini, sehingga akan terjadi konflik antara pendukung si A dan pendukung Si B.
       Yang Kedua, Penyelenggaran pemilu harus bersikap profesional, profesional disini memiliki makna bahwa penyelenggaran harus ahli atau mengusai tata kerja institusinya dengan baik. Sebagai salah contoh, misalnya si Andi berkerja di KIP Aceh, ia diberi amanah oleh institusi untuk berkerja dilapangan di dalam mengecek alat peraga yang digunakan oleh peserta pemilih, dikarenakan si andi ini tidak mengetahui dan memahami seluruh aturan penggunaan alat peraga maka si andi tidak mengiraukan pelanggaran yang dialakukan oleh peserta pemilu. Maka hal ini sangat mungkin menimbulkan percikan konflik. Menurut hemat penulis yang kedua ini sangat subtansial di dalam melahirkan konflik.
       Yang Ketiga, penyelenggaran pemilu harus memiliki intergritas yang tinggi, integritas disini memiliki makna bahwa penyelenggaran pemilu harus memiliki kharisma yang tinggi sehingga membuat peserta pemilu segan dan mematuhi seluruh aturan yang telah dibuat oleh penyelenggara pemilu. Intergritas ini juga memiliki makna bahwa penyelenggara pemilu mencintai pekerjaannya dan juga mematuhi seluruh kode etik yang di berlakukan kepada penyelenggara pemilu, salah satu contoh misal si A adalah penyelenggara pemilu dan si B adalah peserta pemilu si B ini mencoba menyogok penyelenggara pemilu dengan uang yang bernilai sekitar 1 triliun. Karena memang si A ini memiliki intergritas tinggi maka ia menolak pemberian si B . padahal si B ini memiliki maksud agar si A ini mau membantunya untuk memanipulasi suara. Menurut hemat penulis praktek ini kerap terjadi di pada masa soeharto. Dan praktek ini memiliki daya untuk melahirkan konflik besar di Aceh.
       Oleh karenanya menurut hemat penulis minimal penyelenggara pemilu harus memiliki ketiga point diatas agar potensi konflik bisa diminimalisir, karena kejujuran dalam pemilu bisa menghasilkan sosok pemenang pemilu yang berkualitas dan memilika kapasitas yang mampan, bukan sebaliknnya apabila pemenang pemilu adalah sosok yang tidak berkualitas mana tentunya bisa diprekdiksikan potensi konflik di Aceh akan semakin besar. Akan lahir kelompok-kelompok bersejata yang menuntut untuk dilakukan perubahan. Harapan ini semua untuk Aceh ialah bisa terwujudnya kesajteraan dan kemakmuran dan Aceh harus bebas dari konflik baik itu konflik kecil maupun konflik yang memiliki dampak yang besar. Dan salah satunya ialah dengan dihasilkan pemilu yang berkualitas. Semoga aceh ke depan lebih baik lagi. Aamin.     

            

Posting Komentar

0 Komentar